Rabu 18 Jun 2014 23:05 WIB

Jalur Maut di Balik Eksotika Tanjakan Emen

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Asep K Nur Zaman
Bus Pariwisata B 7529 XB yang membawa pelajar SMA Al-Huda, Cengkareng, Jakarta Barat, terguling di Tanjakan Emen, Subang, Selasa(17/6)
Foto: Republika/Septianjar Muharam
Bus Pariwisata B 7529 XB yang membawa pelajar SMA Al-Huda, Cengkareng, Jakarta Barat, terguling di Tanjakan Emen, Subang, Selasa(17/6)

REPUBLIKA.CO.ID,SUBANG -- Tanjakan Emen, yang ada di Kampung Cicenang, Desa/Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, kembali jadi bahan perbincangan khalayak. Adalah kecelakaan maut yang menimpa sebuah bus pariwisata jenis Mercedes Benz Nopol B 7529 XB pada Selasa (17/6) petang, yang membuatnya menjadi buah bibir. Sembilan nyawa dalam armada PO Desiana yang membawa rombongan pelajar SMA Al-Huda Cengkareng, Jakarta Barat, itu melayang sia-sia.

Sebenarnya, ruas jalan yang menghubungkan Kabupaten Subang dan Bandung itu memiliki pemandangan yang indah dan berhawa sejuk. Dari mulai Kecamatan Jalan Cagak, Subang, sampai tugu perbatasan Subang-Bandung, terdapat hamparan perkebunan teh yang dikelola oleh PTPN VIII, terlihat hijau bak permadani.

Keindahan alam perkebunan ini sangat serasi dengan hijaunya pepohonan di Gunung Tangkuban Parahu. Eksotika alam pegunungan ini menyedot perhatian siapa saja yang melintasi kawasan tersebut.

Karenanya, tak jarang pendatang maupun turis mancanegara sebelum berwisata ke kawasan Ciater dan Tangkuban Parahu, selalu menyempatkan diri untuk berfoto ria, sekadar mengabadikan momen saat mereka singgah di Tanah Pasundan tersebut.

Akan tetapi, keindahan alam itu ternyata menyimpan misteri lain. Misteri itu, yakni Tanjakan Emen. Tanjakan ini -- yang konon merujuk pada nama sopir oplet pemberani jurusan Subang-Bandung namun akhirnya mobilnya terbalik dan membuatnya tewas -- sebenarnya tidak terlalu terjal seperti tanjakan Nagreg atau Gentong di jalur selatan Jawa Barat.

Namun, Tanjakan Emen menjadi momok menakutkan bagi sebagian masyarakat. Terutama, bagi warga pendatang. Sebab, di ruas jalan tersebut sering terjadi kecelakaan yang meminta "tumbal" nyawa sehingga dikenal angker.

Anggota Satlantas Polres Subang, Aiptu Suhendar, menuturkan, sebenarnya berdasarkan kacamata kepolisian tanjakan ini biasa-biasa saja. Tidak seterjal tanjakan yang di Nagreg, Gentong, atau daerah lainnya. Namun, Tanjakan Emen lebih terkenal karena setiap ada kecelakaan korbannya selalu lebih dari satu.

"Yang terakhir, kecelakaan maut yang menimpa rombongan SMA Al Huda Cengkareng, Jakarta Barat. Sembilan nyawa melayang," ujarnya, kepada Republika, Rabu (18/6).

Selain itu, panjang jalan yang menanjak dan menurunnya hanya 110 meter. Namun, dari panjang jalan tersebut, 100 meter di antaranya merupakan titik rawan kecelakaan. Bila tidak hati-hati, maka nyawa bisa melayang di wilayah ini.

Berdasarkan fakta di lapangan, kecelakaan ini sering terjadi ketika kendaraan menuruni Tanjakan Emen. Biasanya, kendaraan yang nahas itu akan mengalami rem blong atau melaju tak terkendali. Kondisi inilah yang membahayakan. 

Sebab, bisa saja kendaraan itu menabrak kendaraan di depannya (adu bagong) atau oleng lalu menghantam warung, tiang listrik, atau tebing yang ada di pinggir jalan tersebut. Hal-hal seperti itulah yang jadi penyebab kecelakaan.

Namun, lanjut Suhendar, ada kepercayaan yang diyakini masyarakat setempat. Kepercayaan ini harus dihargai dan direnungkan oleh semua pihak. Yakni, siapapun yang melintasi atau istirahat di sekitaran Tanjakan Emen, harus selalu beriman sesuai ajaran agama masing-masing.

"Intinya, kita harus selalu mengingat Sang Khalik," ujar Suhendar.

Bahkan, kepercayaan lainnya kalau melintasi kawasan itu harus tertib. Tidak boleh ribut atau memiliki hati yang kotor. Pikiran tidak boleh kosong. Sebab, 'mahluk lain' yang ada di kawasan itu tidak menyukai warga yang terlalu berlebihan (ribut) dan berhati busuk.

Mitos itu, setidaknya membuat mayoritas korban kecelakaan di Tanjakan Emen adalah pendatang yang tidak mengetahu "tata tertib" Tanjakan Emen. Baik wisatawan domestik atau asing.

Terkait dengan laka lantas rombongan SMA Al Huda Cengkareng, Jakbar, Suhendar mengaku, kecelakaan itu merupakan yang paling menonjol selama dia bertugas di Satlantas Polres Subang. Sebab, korbannya paling banyak yakni sembilan orang.

Dua tahun yang lalu, kecelakaan di Tanjakan Emen menimpa bus pariwisata yang membawa warga Negara Belanda. Empat orang dari turis asing itu tewas. Tiga tahun lalu, tepatnya pada 2011, bus pariwisata juga mengalami kecelakaan. Enam warga negara China jadi korban.

"Tapi, kali ini (rombongan Al-Huda) korbannya paling banyak. Ini rekor selama saya bertugas," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Ciater Iwan Setiawan, mengatakan, kecelakaan di Emen ini jarang terjadi. Tapi, sekali kejadian korbannya lebih dari satu. Ibaratnya, kecelakaan di Emen ini menggunakan model ular: sekali makan, bisa menghabiskan satu kambing atau sapi. Tapi, ular tersebut mampu berbulan-bulan atau bertahun-tahun tidak makan lagi.

"Di Emen juga sama, kejadiannya jarang, tapi sekali ada kecelakaan korbannya banyak," ungkap Iwan. 

Karena itu, ada baiknya pengendara mematuhi aturan yang berlaku. Baik aturan kepolisian, pemerintah maupun aturan tak tertulis dari warga sekitar. Harapannya, supaya diberi keselataman dalam setiap perjalanan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement