Rabu 18 Jun 2014 17:20 WIB

Industri Kreatif Butuh Sinergi Pemerintah-Akademisi-Bisnis

Rep: C87/ Red: Djibril Muhammad
 Pengunjung mengamati hasil karya industri kreatif lampu boneka daur ulang limbah kayu dalam acara Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2012 di Epicentrum Kuningan, Jakarta, Rabu (21/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Pengunjung mengamati hasil karya industri kreatif lampu boneka daur ulang limbah kayu dalam acara Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2012 di Epicentrum Kuningan, Jakarta, Rabu (21/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengembangan industri kreatif harus didukung sinergi dari pemerintah, akademisi, komunitas dan bisnis. Sinergi akan menghasilkan konten yang unik dan berdaya saing.

Vice President Innovation Strategy and Sinergy PT Telkom, Saiful Hidajat, mengatakan Indonesia menjadi pasar industri kreatif sangat besar dengan belanja pendudukan 2-50 dolar per hari. Oleh sebab itu diperlukan sinergi dari berbagai pihak untuk menghasilkan konten unik dan berdaya saing.

Menurutnya, akademisi berperan dalam melakukan penelitian dan menghasilkan lulusan yang profesional. "Pemerintah dan komunitas memfasilitasi pengembangan industri kreatif, kemudian outputnya dimanfaatkan oleh industri," jelas Saiful saat mengisi Edutalk yang digelar Harian Republika di Pendopo Kemang, Rabu (17/6).

Industri kreatif yang dikembangkan PT Telkom meliputi game, animasi, media sosial, tourism, kesehatan, transportasi, messaging, pendidikan, dan service application.

Syaiful menyampaikan PT Telkom berperan dalam membangun creatif camp, creative center dan creative capital sebagai tempat mengembangkan insan kreatif.

Sejak 2009 PT Telkom melakukan kompetisi penjaringan untuk start up baru. Hingga 2014 PT Telkom telah membangun 20 lokasi creative care di seluruh Indonesia.

"Telkom membantu industri startup, harus menghasilkan sebuah comersial value, sehingga bisa dinikmati orang lain," tambah Saiful.

Kegiatan-kegiatan di creative care tersebut antara lain comunity gathering, pembelajaran teknis dan kewirausahaan, capability sharing, dan networking. Para start up bakal menyiapkan ide-ide kreatif kemudian memilih dan mengecek langsung kebenaran permasalahan di masyarakat.

"Kemudian membangun produk dengan vitur yang paling sederhana. Kemudian ditawarkan ada enggak yang mau beli bisnis validasi, baru dilakukan penjualan," terangnya.

Salah satu perguruan tinggi yang terlibat dalam pengembangan industri kreatif yakni STIMIK AMIKOM Yogyakarta. Menurut Ketua STIMIK AMIKOM, M Suyanto, tujuan utama kampusnya bukan akreditasi melainkan mencetak lulusan menjadi enterpreneur.

Hal itu dilakukan melalui sejumlah program studi yang ditawarkan di bidang periklanan, bisnis, animasi, informasi, komunikasi dan lainnya. "Saat ini peluang yang paling besar di bidang entertainment pada industri film yang luar biasa," jelas Suyanto.

Pihaknya mulai bergelut dengan dunia animasi sejak 2000-an. Dia sempat membuat belasan program animasi untuk ditawarkan kepada televisi lokal di Indonesia. Namun, tak satu pun tertarik dengan alasan rating.

Suyanto akhirnya berusaha bekerja sama dengan Walt Disney Hollywood. Hingga kini Walt Disney masih menggarap dua film dari Amikom yakni Fire and Ice dan Battle of Surabaya.

"Mahasiswa kami dididik untuk berbeda dengan cara di perguruan tinggi negeri. Saat ini beberapa mahasiswa saya sudah memiliki gaji senilai Rp 11 juta - Rp110 juta per bulan," imbuh Suyanto.

Mahasiswa tersebut diberi pelatihan super unggul. Mereka mengeksplorasi keunggulan dan kelemahan mahasiswa dan cara mengatasinya. Hal itu dinilai mampu mengubah mainset mahasiswa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement