Kamis 12 Jun 2014 06:00 WIB

Pascasarjana Islam Washiatiyyah (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Penyiapan fungsionaris Islam di Dunia Barat (khususnya Eropa dan Amerika Utara) tidak ragu lagi merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi tidak hanya oleh kaum Muslimin sendiri, tetapi juga bagi pemerintah negara-negara Barat. Para fungsionaris Islam, seperti guru agama Islam di sekolah, imam, khatib, pimpinan ormas dan lembaga Islam yang memiliki kompetensi keilmuan dan kecakapan kepemimpinan tidak selalu tersedia di banyak wilayah Barat. Padahal, pertumbuhan jumlah kaum Muslim yang sangat cepat memerlukan tenaga ahli yang perlu untuk membina kaum Muslimin sendiri, dan pada saat yang sama mampu berkomunikasi dan menjelaskan Islam secara akurat kepada masyarakat non-Muslim di lingkungan mereka masing-masing.

Kebanyakan fungsionaris Islam masih merupakan migran generasi Muslim pertama atau baru didatangkan dari negara-negara Muslim tertentu semacam Arab Saudi, Pakistan, Bangladesh, Turki, dan juga Indonesia. Tidak banyak fungsionaris Islam yang merupakan putra-putri masyarakat lokal atau pribumi (indigeneous). Para fungsionaris Islam yang merupakan migran umumnya membawa pemahaman dan praktik Islam serta tradisi sosial-budaya yang sering justru memperkuat mispersepsi terhadap Islam di kalangan masyarakat non-Muslim lokal. Selain itu mereka umumnya tidak menguasai bahasa lokal yang memungkinkan mereka berkomunikasi secara artikulatif baik dengan komunitas Muslim indigenous sendiri maupun dengan masyarakat non-Muslim .

Tidak kurang pula, fungsionaris migran generasi pertama dan impor ini cenderung memperkuat sektarianisme yang ada di kalangan Muslim yang datang dari berbagai kawasan dunia dengan bermacam mazhab dan aliran. Karena itulah orang bisa melihat penguatan sektarianisme dan fanatisme mazhab-aliran di kalangan antara kaum Muslimin yang beragam di Barat.

Atas dasar itu, usaha melahirkan dan membina fungsionaris Islam dari kalangan masyarakat Muslim lebih indigenous, bukan migran, telah berlangsung sejak 1980an di wilayah tertentu Dunia Barat, seperti di Amerika Serikat. Sejak saat itu, mulai muncul fungsionaris Islam non-Arab, non-Pakistan, atau non-Turki, sebaliknya dari kalangan kulit hitam maupun kulit putih. Hasilnya, Pengajian Muslim Indonesia New York, misalnya, sejak pertengahan 1980an sering mengundang Imam Siraj Wahhaj, asal Brooklyn, New York, yang menampilkan pemahaman Islam Washatiyyah yang selaras dengan Islam Washatiyyah Indonesia.

Sedangkan di Eropa usaha melahirkan fungsionaris Islam baru bermula pada 1990an, misalnya dengan pembentukan Islamitische Universiteit Rotterdam (IUR) pada 1997. Hingga sekarang dua program S2-nya dalam Teologi Islam dan Bimbingan dan Penyuluhan diklaim telah terakreditasi. Tetapi, Universitas Islam ini bukan inisiatif lokal; secara tidak resmi disebut berafiliasi dengan gerakan Nurculuk Turki. Agaknya karena alasan itu,

pada 2001 IUR terpecah, memunculkan The Islamic University of Europe (IUE) yang juga menyelenggarakan program bahasa Arab dan keislaman yang bertujuan menghasilkan imam, guru pelajaran agama dan fungsionaris Islam lain.

Dalam konteks itu, prakarsa Duta Besar RI untuk EU, Belgia dan Luxembourg bersama Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) memperkenalkan PascaSarjana Kajian Islam Indonesia di Belgia merupakan langkah terobosan sangat penting. Titik masuk dalam hal ini terbuka melalui kerja sama dengan Katholieke Universiteit Leuven (KUL) yang segera membuka program S2 Kajian Islam (Master Program in Islamic Studies) mulai Semester Musim Gugur Tahun Akademik 2014-15, Agustus nanti.

Program ini pada dasarnya bertujuan menyiapkan generasi muda Muslim Belgia untuk menjadi fungsionaris Islam Washatiyyah seperti imam dan guru pendidikan agama Islam baik di lingkungan masjid maupun lembaga pendidikan. Untuk kepentingan itu, Program S2 Kajian Islam KUL bermaksud memberikan pengetahuan dan kecakapan keislaman kepada para mahasiswa agar dapat memainkan peran maksimal dalam pembinaan masyarakat Muslim Belgia.

Program S2 Kajian Islam di KUL jelas sangat penting. Pertama, program ini diselenggarakan di sebuah perguruan tinggi Katolik yang sangat terkemuka. KUL yang berdiri pada 1425 merupakan perguruan tinggi tertua di Eropa, dan kini adalah salah satu universitas terbaik di Eropa—peringkat ke13 dari 100 universitas terbaik dan bergengsi di benua ini.

Untuk kepentingan itu, Dubes RI di Brussel, Arief Havas Oegroseno dan Diktis Kemenag dengan persetujuan Rektor KUL, Profesor Rik Torfs mengundang penulis Resonansi ini untuk menjadi Visiting Profesor di KUL selama dua pekan, 22 April sampai 8 Mei 2014. Program ini bertujuan memperluas jejaring akademik dan meningkatkan kerjasama kelembagaan PTAI di lingkungan Kemenag RI di Eropa khususnya dengan KUL. Tidak kurang pentingnya adalah untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan pemahaman dan praktik Islam Washatiyyah Indonesia ke mancanegara.

Dalam konteks itu, Program Visiting Profesor Indonesia di KUL secara khusus bertujuan memberikan review dan saran bagi penyempurnaan konsep penyelenggaraan Program S2 Kajian Islam yang sudah disiapkan Tim Kerja dari Fakultas Teologi dan Kajian Agama (FTKA/Faculty of Theology and Religious Studies/FTRS) KUL. Program S2 dengan tujuan seperti tadi merupakan program S2 Kajian Islam pertama di seluruh Belgia; dengan konsep dan karakternya yang khas merupakan yang pertama pula di seluruh Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement