REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Sejumlah guru yang mengabdi di sekolah-sekolah swasta di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengkhawatirkan kondisi krisis siswa hingga mengakibatkan mereka tidak bisa memenuhi kewajiban mengajar selama 24 jam dalam sepekan.
"Guru sekolah swasta yang sudah disertifikasi khawatir dengan minimnya siswa, berakibat jam mengajar tidak cukup karena sesuai ketentuan seharusnya 24 jam dalam sepekan," kata Ketua Yayasan Nurul Jannah Ampenan H Muhammad Natsir Syukron di Mataram, Rabu.
Dia melanjutkan, para guru yang mengajar di SMA Nurul Jannah sebagian besar sudah disertifikasi. Sehubungan dengan minimnya siswa yang bersekolah di SMA tersebut, membuat jam mengajar menjadi tidak sesuai dengan sertifikasi.
Disinggung penyebab minimnya siswa, Natsir menyatakan hal ini disebabkan pemberlakuan penerimaan murid bina lingkungan (BL) di beberapa sekolah negeri di Mataram, yang tidak disertai pengawasan.
"Kalau penerimaan murid BL tanpa pengawasan, sepertinya jadi percuma saja ada sertifikasi untuk guru non-PNS," ujarnya.
Natsir melanjutkan, jumlah keseluruhan murid di SMA Nurul Jannah hanya 133 orang. Jumlah ini terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. Sekolah ini mempunyai enam ruang belajar, namun tiga ruang tidak dipergunakan karena minimnya siswa.
"Kami berharap pemerintah memperhatikan sekolah swasta yang belakangan semakin kekurangan murid karena diberlakukannya sistem BL," ujar Natsir.
Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) Adhar Hakim menyatakan, pihaknya mendukung usulan bahwa murid yang diterima melalui jalur BL hendaknya terlebih dahulu diumumkan sebelum pengumuman penerimaan murid lewat jalur online.
"Kalau diumumkan, tentu Dikpora tidak perlu repot menghadapi berbagai tuduhan. Jadi apabila ada transparansi, tentu masyarakat tidak menduga yang macam-macam dan bisa menilai secara langsung," kata Adhar.
Dia melanjutkan, kisruhnya soal siswa BL ini disebabkan masyarakat sekitar tidak mengetahui secara persis, siapa saja murid yang tinggal di lingkungan sekolah yang mendapatkan atau diterima melalui jalur bina lingkungan tersebut.
"Kalau tidak transparan, BL tentu disinyalir menjadi tempat penitipan bagi siswa yang sebenarnya tidak lulus seleksi," ujarnya.