REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelesaian kerusuhan 98 harus dilakukan di mahkamah militer. Hal ini dilakukan agar siapa saja otak dibalik peristiwa itu terungkap semuanya. "Ini cara yang paling efektif," jelas pengamat militer, Erwin Jose Rizal, saat dihubungi, Rabu (11/6).
Selama ini, jelasnya, purnawirawan kerap bersuara lantang seputar pelanggaran HAM 98. Sayangnya, tidak ditindaklanjuti. Hal ini kemudian menjadi pembicaraan publik tiada henti.
Mantan Komandan Pusat Polisi Militer, Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal menilai, dari hasil pemeriksaan Polisi Militer (PM) terhadap seluruh aktivis yang kembali, terdapat cukup bukti bahwa Prabowo melakukan tindak pidana. “Cukup bukti, dari bukti itu kami rekomendasi harus diadili di peradilan militer,” kata Syamsu.
Sayangnya, kata dia, rekomendasi yang diajukan ke Panglima ABRI tidak ditindaklanjuti. Sementara, tugas dirinya saat itu hanya sampai di rekomendasi.
Syamsu mengakui bahwa dirinya memang tidak duduk di DKP. Namun, ia mendapat informasi bahwa Prabowo memang diberhentikan. “Dicopot, diberhentikan,” ucap Syamsu.
Ditegaskannya, berdasarkan hasil sidang DKP diketahui bahwa Prabowo telah melakukan pelanggaran. Hanya saja, kata Syamsu, mestinya Prabowo dibawa ke pengadilan. “Karena DKP itu bukan penegak hukum, harusnya ke pengadilan,” ucapnya.
Mantan Wakil Panglima ABRI Letnan Jenderal (Purn) Fachrul Razi membenarkan surat DKP yang memberhentikan Prabowo dari ABRI yang beredar di media sosial. Surat keputusan DKP itu dibuat pada 21 Agustus 1998. Surat berklasifikasi rahasia itu ditandatangani para petinggi TNI kala itu, salah satunya Fachrul sebagai Wakil Ketua DKP.