REPUBLIKA.CO.ID, AMUNTAI -- Warga Putat Atas di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, mengadukan sejumlah perangkat desa ke DPRD setempat, terkait dugaan pungutan liar atas dasar peraturan desa.
Ketua DPRD Hulu Sungai Utara, Sutoyo Sandi, Selasa mengatakan, puluhan warga tersebut datang ke gedung DPRD, mereka melaporkan dugaan praktek pungutan liar (pungli) oleh oknum kepala desa dan aparatnya.
"DPRD mendesak pemerintah daerah agar sesegeranya melakukan penelitian dan menyelesaikan persoalan ini secara adil, arif dan bijaksana," ujar Sutoyo, melalui siaran pers pemerintah daerah setempat.
Sutoyo memaparkan, terdapat sembilan item dugaan praktek pungli terhadap beberapa proyek bantuan, seperti, pungutan terhadap penyaluran beras miskin, pungutan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Serta pungutan terhadap proyek bantuan pengadaan jamban (WC), selain itu warga juga dipungut Rp500 ribu hingga Rp800 ribu untuk pengadaan Sumur Pompa Tangan (SPT), warga juga mempertanyaan Alokasi Dana Desa (ADD) yang selama ini di nilai masih tidak jelas peruntukannya.
"Bahkan proyek bantuan perahu, alat listrik tenaga surya dan bantuan bagi korban bencana angin puting beliung juga tidak luput dari adanya pungutan dan pemotongan sebagaimana disampaikan warga," terang Sutoyo.
Ketua Komisi I DPRD Hulu Sungai Utara H Hormansyah menerangkan pihaknya sudah berkunjungi ke Desa Putat Atas guna melihat langsung proyek-proyek yang dikeluhkan pungli.
"Kami dari komisi I langsung terjun meninjau lokasi begitu menerima pengaduaan warga dan turut menyayangkan persoalan ini belum tuntas diselesaikan aparat Pemda," kata dia.
Hormansyah mengatakan Kades Putat Atas Haji Saderi yang dilaporkan warga berdalih kebijakan melakukan pungutan dan pemotongan dana proyek di atas sudah sesuai dengan Peraturan Desa (Perdes) yang dibuat sejak 2009.
Anggota DPRD Hulu Sungai Utara yang kini terpilih menjadi Anggota DPRD Propinsi Kalimantan Selatan pada Pemilu Legislatif ini menduga Kades Putat Atas kurang melakukan sosialisasi dan keterbukaan dengan warganya dalam penerapan Perdes untuk melakukan pungutan.
Diantaranya alasan Kades Putat Atas yang melakukan pungutan raskin sebesar Rp40 ribu per 15 kg yang bertujuan menambah upah ketua RT yang membantu mendistribusikan pembagian raskin kepada penerima dinilai cukup wajar karena lokasi penerima raskin di desa itu memang sulit dijangkau.
Desa tersebut berada di tengah kawasan yang berawa-rawa, sedang dana distribusi yang dianggarkan selama ini dirasa masih kurang.
"Namun karena kurang komunikasi dan keterbukaan jadinya warga keberatan dan menduga kades melakukan pungli," katanya.
Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Hulu Sungai Utara Mukhlis Redhani yang turut dalam pertemuan itu justru masih meragukan alasan Kades Putat Atas melakukan pungutan melandaskannya pada Perdes.
"Selain saya sendiri belum pernah melihat Perdes yang dimaksud, apalagi Kades juga tidak memperlihatkan Perdes saat di gedung dewan, semestinya Perdes di buat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan rancangannya harus terlebih dulu disampaikan kepada bupati melalui camat sebelum ditetapkan menjadi Perdes," tambahnya.
Perdes itu, sambung Mukhlis juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, untuk itu ia mengharapkan semua pihak untuk menunggu hasil pemeriksaan pihak Inspektorat yang lebih berwenang terhadap kasus ini.
Pihak DPRD Hulu Sungai Utara sendiri telah memberi batas waktu hanya sekitar tujuh hari bagi aparat Pemda untuk menyelesaikan persoalan ini karena kasusnya yang sudah cukup lama berlangsung dan meminta aparat kecamatan Sungai Pandan untuk berkonsolidasi dengan pihak muspika kecamatan dalam rangka mengendalikan situasi kamtibmas selama pemeriksaan dan penyelesaikannya.
"Jika selama batas waktu yang diberikan persoalan ini belum selesai juga maka kami akan panggil kembali pimpinan SKPD terkait untuk memberi penjelasan" pungkasnya.