REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, ormas Nahdlatul Ulama (NU) kembali diseret-seret dalam proses tersebut.
Namun, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan, NU sebagai organisasi tidak layak diperalat untuk menjadi sekadar tim sukses.
Ia mengatakan, NU merupakan jamiyyah diniyyah ijtimaiyyah, organisasi masyarakat keagamaan.
“Sejak awal didirikan oleh para kiai, NU mengemban tugas besar menjaga, merawat, dan mengembangkan ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah di bumi nusantara. Karenanya, jelas bahwa NU tidak bertujuan meraih kekuasaan politik,” ujarnya dalam rilis yang diterima ROL, Ahad (1/6).
Kalaupun harus menyebut istilah politik, maka politik NU adalah politik kebangsaan dan politik kerakyatan.
NU, kata Siroj, menunjukkan bahwa jalan menuju kemaslahatan individual dan kolektif terbentang begitu banyak dan luas. Sementara kekuasaan politik praktis hanya sebagian saja dari berbagai jalan yang ada.
Hingga sekarang dan kelak, NU secara tegas dan teguh memegang komitmen terhadap Khittah 1926 ini. Salah satu pelajaran penting dari Khittah 1926 ialah NU keluar dari batas-batas partai politik.
“NU meluaskan pandangan dan pengertian terhadap politik. Perluasan pandangan itu beranjak dari sebatas tukar guling kekuasaan meluas menjadi perjuangan kemaslahatan,” tegas Siroj.
Sejak mengemban amanah Ketua Umum PBNU, Siroj mengaku dengan sadar dan sengaja berusaha meneruskan komitmen Khittah 1926. NU bukan bagian dari partai politik apa pun. Bukan bagian dari PDIP, Golkar, Partai Demokrat, Gerindra, PKB, PPP, dan seterusnya.
“Bagi saya, Karena NU jauh lebih besar dari partai, justru di partai-partai itulah tersebar kader-kader NU,” ujarnya.