REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, menyatakan dekstro harus ditarik dari pasaran. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari ancaman bahaya mengkonsumsi obat tersebut.
“Tentu mekanisme itu harus dilakukan,” jelasnya, saat dihubungi, Ahad (1/6). Prosesnya, menurut Sudar, ada dua. Pertama adalah produsen sendiri yang menarik peredaran dekstro. Jika tidak bisa, maka baru menempuh yang kedua, yaitu BPOM sendiri yang menariknya.
Penarikan ini dilakukan dengan penjelasan akan bahaya konsumsi dekstro yang berpotensi memunculkan halusinasi. Selain itu, BPOM juga harus bertanggungjawab terhadap kompensasi penarikan obat yang dianggap berbahaya itu. Obat ini, jelas Sudar, sebelumnya tidak dipermasalahkan, tapi kini dianggap bermasalah. Tentunya ada pihak yang dirugikan disini.
Dia menyatakan BPOM harus terlebih dahulu menarik obat tersebut dari pasaran. Hal ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari mengkonsumsinya. Jika semua obat sudah ditarik maka barulah proses berikutnya dilakukan. BPOM kemudian mengumumkan pelarangan peredaran obat ini.
Proses seperti ini dinilainya efektif untuk melindungi konsumen. Selain itu, produsen dan distribusi obat juga berperan dalam melakukan pencegahan. “Semua pihak turut serta. Ini kerja sama yang harus dibangun,” jelasnya.
Selama ini, pihaknya menilai publikasi dan sosialiasi yang dilakukan masih terbatas. Imbasnya, publik masih mengonsumsi obat yang menimbulkan efek samping halusinasi seperti narkoba itu. Harusnya, Badan POM menyebarluaskan bahaya pemakaian dekstrometorfan di website.
Selain itu, merek obat yang menggunakan dekstro sebaiknya diumumkan. Dengan mempublikasikan larangan itu, masyarakat juga bisa ikut mengawasi peredarannya. Ia juga menyesalkan terlalu lamanya batas waktu penarikan obat-obatan yang mengandung zat dekstrometorfan yakni selama satu tahun. Sebab, hal itu akan memungkinkan penyalahgunaan dan penimbunan obat itu oleh oknum-oknum tertentu.
Obat batuk dan flu mengandung dekstro ditarik dari pasaran karena dapat memberikan efek halusinasi dan dissosiatif yang hampir mirip dengan narkoba konvensional. Badan POM sendiri telah mengeluarkan Keputusan Kepala Badan POM No HK.04.1.35.06.13.3534 tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal. Sesuai ketentuan, pihak industri masih diizinkan menggunakannya hingga 30 Juni 2014.