REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan calon presiden Prabowo Subianto mengenai jaminan pribadi atas kebebasan pers yang diungkapkannya pada Kamis (29/5) lalu, di Surabaya kembali mendapat reaksi keras.
Tokoh pers nasional, Atmakusumah Astraatmadja menilai pernyataan Prabowo tidak relevan dengan masa tenang dan kenyamanan kebebasan pers selama hampir 15 tahun pascareformasi.
"Saya tidak paham apa maksud Prabowo mengemukakan soal jaminan pribadi pada kebebasan pers. Jaminan pribadi tidak memiliki kekuatan untuk kebebasan pers," ujar Atma Sabtu (31/5).
Menurut dia, kebebasan pers sudah diatur dalam UUD 45 dan amandemen UUD dalam sidang MPR, UU Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999, dan UU Hak Asasi Manusia yang mengatur tidak ada lagi penyensoran terhadap pers, penyiaran karya jurnalistik dan pembredelan.
Atma menegaskan jaminan pribadi terhadap kebebasan pers adalah sikap diktator dan otoriter. Ucapan jaminan pribadi justru bisa menjadi senjata yang dipakai untuk melakukan pembredelan, penyensoran dan ancaman.
Atma lantas memberikan contoh pernyataan serupa yang pernah disampaikan oleh Amir Syarifuddin, Menteri Penerangan, di awal kemerdekaannya. "Jaminan pribadi terhadap pers pernah disampaikan Amir Syarifuddin. Namun sekitar tiga bulan setelah pernyataan tersebut terjadi tindakan pembredelan terhadap harian Revolusioner yang pemrednya menulis dalam opininya Soekarno Bombastis,” tutur Atma, yang juga mantan Ketua Dewan Pers 2000-2003.
Atma menduga pernyataan Prabowo bermaksud melunakan hati para pengelola media dat pers terkait dengan pemberitaan seputar kariernya di masa lalu yang diungkap sedemikian gambalang terbuka oleh media.
Hal senada juga diungkapkan Hasto Kristiyanto, wasekjend DPP PDIP. Menurut Hasto, kebebasan pers merupakan amanat konstitusi (UUD 1945 Pasal 28 F)dan bukan sebagai jaminan orang per orang. Perintah konstitusi wajib ditaati.
"Pernyataan Pak Prabowo yang seperti itu justru menifestasi kepemimpinan otoriter sehinga segala bentuk jaminan harus berasal dari dalam dirinya," tegas Hasto.
Menurut Hasto, Indonesia memerlukan pemimpin yang tegas dalam keputusan, tetapi bukan otoriter. "Ketegasan bisa nampak dalam kelembutan. Ketegasan bisa hadir dalam kebijakan, bukan dalam karakter yang emosional," paparnya.