REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) meminta pemerintah menghormati masyarakat adat dengan memberikan akses yang luas terhadap tanah wilayah adatnya karena dari waktu ke waktu menyempit akibat hadirnya izin konsesi.
"Saat ini tanah garapan masyarakat terancam dengan status kawasan hutan pada lokasi tersebut. Tempat peladangan mereka masuk kedalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT)," kata anggota PBHI Sumbar Yoni Chandra melalui pesan elektronik yang diterima Antara di Pekanbaru, Kamis.
PBHI Sumbar sedang memberikan advokasi kepada masyarakat di tiga desa yakni Desa Anak Talang, Desa Kepayang Sari dan Desa Cenaku Kecil, Kecamatan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Ia mengatakan, masyarakat desa itu merupakan Patalangan (tempat perladangan) bekas nenek moyang yang kemudian mereka garap dan di lahan itu masih ditemukan kebun lama berupa tanaman durian, manggis dan pohon sialang yang berusia puluhan tahun.
Dalam rangka mempertahankan identitas daerah, maka masyarakat yang ada pada desa tersebut dilarang untuk menebangi batang pohon seperti durian, manggis dan sialang pada daerah tersebut.
"Jika ditemukan masyarakat yang menebangi tanaman tersebut, makan akan di sanksi secara adat berupa denda mulai dari satu ekor ayam sampai dengan satu ekor kambing, sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan," ceritanya.
Kemudian ayam atau kambing yang dibayarkan tersebut, akan dimasak dan dimakan bersama-sama oleh masyarakat. Pemberian sanksi tersebut dilakukan oleh petinggi adat setempat.
Arsyad (65), salah seorang warga Desa Kepayang Sari mengatakan lokasi tersebut merupakan kampung orang-orang terdahulu. Hal itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya pemakaman yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun.
"Jika saat ini masyarakat kembali untuk melakukan pengelolaan dilahan tersebut, itu sama artinya mereka kembali mengelola kampung lamanya," ucap dia.
Namun dalam sejumlah regulasi kehutanan, masyarakat pula yang harus mendapatkan izin dari Kemetrian Kehutanan untuk melakukan pengarapan lahan. Hal itu tentu menjadi "ancaman" bagi masyarakat.
Yoni Candra mengatakan, Pasal 18B ayat (2) Undan-undang Dasar 1945 disebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
"Dalam pasal 28I ayat (3) juga menjelaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban," katanya.