REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pengamat pertanian Dr Gede Sedana melihat pertanian di Provinsi Bali berbasis sosial kemasyarakatan jika petani ingin mendapatkan hasil yang maksimal.
"Subak mengembangkan agribisnis dengan modal sosial memiliki kekuatan, yakni ikatan antarpetani anggota subak, peraturan adat (awig-awig), dan nilai religius di subak," kata Dr Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendera Denpasar, Kamis (29/5).
Menurut dia, semua kekuatan itu memberikan kontribusi terhadap subak dalam pengembangan agribisnis yang mampu memberikan kemudahan dalam mengembangkan usaha petanian sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Namun di balik itu petani juga mengalami hambatan dalam mengembangkan usaha agribisnis di tingkat subak yakni semakin menyempitnya lahan sawah, terbatasnya teknologi budidaya dan rendahnya teknologi pascapanen.
Gede Sedana menambahkan, refleksi pengembangan agribisnis berbasis modal sosial
menjadi salah satu model pembentukan lembaga baru dalam pengembangan agribisnis pada sistem subak di Bali.
Hal itu sekaligus merupakan bagian dari penyesuaian kelembagaan yang sebelumnya telah berhasil merintis pembentukan koperasi tani.
Gede Sedana menjelaskan, pengembangan agribisnis termasuk pengolahan pascapanen tidak harus berdiri sendiri, meski masih tetap berada dalam kawasan subak. Aturan-aturan yang ada (awig-awig) tetap menjadi pedoman dalam pengembangan agribisnis tersebut.
Oleh sebab itu pemerintah tidak perlu harus selalu membentuk wadah baru di luar sistem subak untuk pengembangan agribisnis.
Replikasi terhadap pengembangan agribisnis yang didasarkan pada modal sosial subak perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.
Pemberdayaan subak dalam pengembangan agribisnis di masa mendatang dapat menjadi landasan dan pendukung yang signifikan, seperti dalam pengelolaan bantuan dana atau finansial yang bersumber dari pemerintah.