REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar geologi ITS Surabaya Dr Amien Widodo menegaskan bahwa penelitian terakhir menemukan air tanah di kawasan semburan lumpur pada eks lokasi eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, sudah tercemar, sehingga merugikan masyarakat.
"Hanya penelitian kami masih berlanjut untuk menentukan luas radius pencemarannya, tapi kami prediksi sudah satu kilometer dari tanggul di sisi timur," katanya kepada Antara di Surabaya, Rabu, menyikapi evaluasi delapan tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2014.
Menurut Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS Surabaya itu, air tanah yang tercemar dengan rasa asin itu menyebabkan tanaman sulit hidup dan airnya tidak bisa diminum lagi, karena sumur milik warga juga terdampak pencemaran itu.
"Yang jelas, kalau penanganan semburan lumpur itu berlarut-larut, maka pencemarannya juga akan semakin meluas, karena itu kami sudah memikirkan untuk mencari tanaman yang kebal dengan air asin guna menangkal meluasnya pencemaran air tanah itu," ucapnya.
Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah mendesak pimpinan PT Lapindo Brantas untuk bertindak guna mengatasi dampak dari pencemaran air tanah itu. "Jadi, semua pihak jangan hanya melihat lumpur sebagai bencana alam, tapi harus memikirkan dampak lingkungannya," tukasnya.
Selain itu, semua pihak juga harus banyak belajar dari lumpur itu, karena dampaknya bisa meluas pada masalah lingkungan dan ekonomi. "Bisa saja kita membela satu perusahaan, tapi kita sendiri akan dirugikan, karena perusahaan lain tidak akan mau berinvestasi," ujarnya.
Ia menilai keputusan semburan Lumpur Lapindo disebabkan oleh alam menimbulkan permasalahan baru terkait dengan aktivitas eksplorasi minyak dan gas di Jawa Timur yang berdampak pada perekonomian masyarakat dan provinsi ini.
"Upaya 'pem-bencana alam-an' ini dampaknya sangat luas bagi masyarakat karena menimbulkan ketakutan terhadap eksplorasi minyak dan gas (migas) di daratan Jawa Timur, apalagi secara geologis kawasan Jawa Timur termasuk kawasan tektonik aktif yang menghasilkan cekungan minyak dan gas bumi serta lapisan lumpur bertekanan tinggi yang potensial," tuturnya.
Hasil survei di beberapa kabupaten di Jawa Timur menunjukkan hampir sebagian besar menolak aktivitas eksplorasi migas walau baru survei seismik.
Mereka takut karena apa yang mereka lihat pada semburan lumpur di Sidoarjo yang telah menimbulkan ancaman-ancaman baru yang membahayakan lingkungan di sekitarnya ditambah dengan penanganan yang berlarut-larut.
"Masyarakat takut karena kita tidak punya ahli dan teknologi menutup semburan. Penolakan itu sudah dimulai sebagai contoh Tahun 2011 survei seismik Exxon di Jombang dihentikan masyarakat dan Exxon menghentikan kegiatan surveinya di Jawa Timur," tandasnya.
Tahun 2012, warga Desa Tanjung, Sumenep, Madura, juga menghentikan kegiatan eksplorasi migas yang masih berlangsung milik PT Energi Mineral Langgeng (EML).
"Untuk itu, saya menyarankan kepada pemerintah agar melakukan empat langkah terkait eksplorasi, yakni meninjau kembali sistem pengawasan atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, dengan mempertimbangkan risiko-risiko yang timbul," katanya.
Langkah kedua, memperketat perizinan eksplorasi dan ekploitasi migas di daratan, di antaranya menambahkan Dokumen Analisa Risiko yang berisi upaya pengelolaan, evaluasi dan pemantaun terhadap ancaman semburan lumpur dan risiko yang timbul lainnya.
Dalam pembuatan dokumen analisa risiko ini harus melibatkan otoritas lokal (pemerintah setempat) dan masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi.
Langkah ketiga, melakukan sosialisasi peningkatan kapasitas masyarakat terkait pentingnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi mingas bagi pembangunan nasional, dan langkah keempat adalah khusus di sekitar Patahan Aktif Watukosek diperlukan peninjauan kembaliaktivitas pembangunan di wilayah ini dan diberlakukan Moratorium kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.