REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau (PT), Dr. Prijo Sidipratomo, tantangan pengendalian tembakau di Indonesia adalah masalah komitmen dan hukum. Pernyataan disampaikan pada acara Hari Bebas Tembakau 2014 di Griya Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Senin, 19/5).
Prijo menuturkan, hukum tentang peraturan pengendalian tembakau di Indonesia terlalu lunak. Dari segi iklan rokok menurut Prijo, peraturan iklan di Indonesia hanya dibatasi. Sedangkan di luar negeri, iklan rokok dilarang.
Di Indonesia, banyak orang tertarik merokok karena peran iklan yang terlihat menarik. Seperti iklan yang ada, tentang rokok dan sisi kegagahan pria. Padahal menurutnya, tidak ada hubungan antara lelaki 'maco' dengan merokok.
Selain itu, hambatan dari pihak pabrik rokok juga tidak bisa dihindarkan. Pada umumnya, pabrik rokok besar di Indonesia sudah dikuasai asing. Stake Holder terbesarnya dipegang oleh investor luar negeri.
Sementara pabrik rokok kecil, menurut Prijo dengan sendirinya akan hilang. Karena tidak mampu bertahan dalam persaingan bisnis dengan industri rokok besar.
Industri rokok besar tersebut, akan berupaya untuk mempertahankan keberadaannya di Indonesia. Salah satunya, melalui regulasi dengan mempengaruhi parlemen dan kabinet pemerintahan. Sehingga dibuatlah peraturan lunak tentang rokok di Indonesia.
Apalagi di negara ini menurut Prijo, pajak industri rendah. Sementara jika dibandingkan dengan Filipina, menerapkan pajak tinggi yang disebut 'pajak dosa'.
Prijo memberi contoh perbandingan, dengan regulasi mengenai rokok di Amerika Serikat. Ia menuturkan, pada era 30an hingga 70an, Tobaco Industry mendapatkan surganya di AS. Namun kemudian, peraturan yang sistematis mengubah potret rokok di sana.
Sejak era Presiden AS Richard M. Nickson hingga Barack Obama, selalu ada peraturan yang membatasi industri rokok. Hal itu membuat industri rokok di AS berpindah ke luar negeri, salah satunya ke Indonesia.
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah AS itu bukan tanpa tujuan. Dengan adanya batasan tersebut, terjadi penurunan angka perokok.
Dan dengan penurunan jumlah perokok, angka penyakit kanker di AS turun. Selain itu, angka penyakit degeneratif seperti jantung dan pembuluh darah juga menurun.
Di Indonesia, penyakit infeksi dan non infeksi juga tinggi. Salah satunya menurut Prijo, merupakan kontribusi dari dampak rokok.
Fakta yang terjadi menurutnya, produsen rokok semakin kaya dengan mengeruk pundi-pundi uang dari konsumen. Sementara, negara yang menanggung rakyat ketika jatuh sakit.
"Dan yang paling tragis, maraknya iklan, promosi dan sponsor rokok, menjaring anak untuk menjadi perokok pemula. Yang menggantikan perokok dewasa yang mulai sakit dan mati," tutur mantan ketua IDI yang kini menjabat Ketua Komnas PT itu.
Oleh karena itu, melihat kekhawatiran akan dampak rokok, mendorong Komnas PT untuk terus bergerak. Di dalam Komnas PT, terdapat 21 lembaga dan perorangan yang tergabung.
Salah satunya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Wanita Indonesia tanpa Tembakau atau PWI, PGRI, dan Ikatan Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Lembaga ini mengupayakan langkah advokasi kepada sektor pemerintah dan pembuat kebijakan (Policy Maker) di Indonesia.
Tujuannya, agar pihak tersebut membuat kebijakan yang bersifat membatasi, dan mengendalikan dampak tembakau.
Namun menurut Prijo, hasilnya sangat lamban. Jika dibandingkan Malaysia dan Singapura. Bahkan menurutnya, pemerintah cenderung tidak menghiraukan dengan dalih kontribusi terhadap APBN yang besar.
"Padahal pemasukan dari industri rokok di Indonesia hanya 60 triliun. Sedangkan APBN kita sudah 1.500 triliun," tutur Prijo.