Ahad 18 May 2014 20:35 WIB

Indonesia Hadapi Tiga Risiko Ekonomi Global

Rep: Elba Damhuri/ Red: Bilal Ramadhan
Para aktivis berunjuk rasa memprotes pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Denpasar, Bali, Selasa (3/12).   (AP/ Firdia Lisnawati)
Para aktivis berunjuk rasa memprotes pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Denpasar, Bali, Selasa (3/12). (AP/ Firdia Lisnawati)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja membaik seiring dengan menurunnya defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2014. Namun, Bank Indonesia (BI) mengingatkan bahwa guncangan-guncangan masih akan datang seperti dari faktor eksternal.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, mengatakan setidaknya ada tiga risiko ekonomi global yang mempengaruhi ekonomi Indonesia. Ketiganya adalah perekonomian Cina yang masih melambat, harga komoditas global yang masih tiarap, dan bank sentral AS the Fed yang masih melakukan normalisasi kebijakan terkait penarikan stimulus.

"Harga komoditas ekspor Indonesia masih rendah terutama karena melemahnya permintaan dari Cina, khususnya pada produk karet, tembaga, dan batubara," kata Tirta, Ahad (18/5).

Ketika permintaan luar negeri turun, Tirta menjelaskan pasokan dalam negeri malah meningkat, termasuk suplai dari negara-negara lain. Pasar global pun meresponsnya dengan penurunan harga komoditas yang diperkirakan masih akan berlangsung untuk jangka menengah-panjang.

Pelemahan perekonomian Cina terkait program rebalancing-nya berdampak pada pelemahan ekonomi di Indonesia. Tirta mengungkapkan ekonomi Cina tumbuh 7,3 persen per April 2014 lalu dari target sebesar 7,5 persen pada tahun ini.

Padahal, pada 2013 perekonomian Cina tumbuh 7,7 persen, lebih baik dari tahun ini. Malah, kata Tirta, pada 2015 pertumbuhan ekonomi Cina kembali melambat diperkirakan menjadi 7,3 persen. Cina selama beberapa tahun terakhir berperan sebagai pembeli utama komoditas dunia.

Untuk menggerakkan mesin pertumbuhan ekonominya, Cina memerlukan energi besar sehingga membeli dari pasar global sebagai stok, termasuk minyak, barang mineral, dan batubara. Penurunan kinerja perekonomian juga terjadi di beberapa emerging markets lainnya seperti Rusia, Argentina, Thailand, dan Venezuela.

Sebaliknya, negara-negara maju mengalami rebound ekonomi yang mengubah lanskap perekonomian global. Dari Amerika Serikat, the Fed konsisten untuk mengurangi program stimulusnya hingga mendekati angka terkecil.

Pengurangan stimulus dari 80 miliar dolar AS per bulan ini berdampak pada makin ketatnya likuiditas global dan mengganggu suku bunga pinjaman di banyak negara. BI mengaku telah menyiapkan sejumlah strategi untuk meredam gejolak-gejolak tersebut.

"Sejauh ini perekonomian tetap stabil," kata Tirta yang pernah menjadi wakil pemerintah di Dana Moneter Internasional (IMF) itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement