REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta melakukan audit dugaan pelanggaran kasus HAM sebagai syarat penetapan capres dan cawapres. Hal tersebut untuk mengedukasi pemilih terutama terkait persoalan hukum yang pernah menjerat para kandidat pemimpin bangsa.
Pengamat Politik dan Hukum UI, Todung Mulya Lubis mengatakan ketentuan ini harus masuk dalam prasyarat kelolosan capres dan cawapres di KPU. Menurut dia, aturan ini belum pernah diberlakukan, namun publik tentu butuh informasi yang jelas.
“Meski komitmen kandidat tersebut dinilai tinggi, selama hutang hukumnya masih ada, maka masyarakat perlu mempertanyakan kebenaran orang tersebut,” kata Todung kepada Republika dalam acara Petisi Capres Pelanggar HAM di YLBHI, Ahad (18/5).
Dia menambahkan pemilih harus memiliki informasi lengkap atas dugaan kasus hukum yang menjerat capres dan cawapresnya. KPU perlu bekerjasama dengan Komnas HAM melakukan terobosan untuk penyelenggaraan pemilu ke depan.
Sebab, Kejaksaan Agung sendiri dinilai kurang proaktif dalam menindak kasus tersebut. Apa yang dilaporkan Komnas HAM memang tidak /projustice/, namun ketentuan teknis itu tidak membuat lembaga peradilan tinggi itu menghentikan penyidikan, apalagi terkait pelanggaran hukum.
Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadly Zon mengatakan, isu HAM ini merupakan komoditas politik. Kasus yang diduga melibatkan Prabowo dianggap tanya sebagai tudingan sekelompok orang yang tidak memiliki bukti. Pihaknya siap meladeni tuntutan tersebut kalau faktanya jelas.
“Kami tidak takut. Lagipula ini adalah kasus yang sudah pernah kami klarifikasi, dan dianggap sudah usang. Ini hanya isu pesanan dari lawan politiknya,” ujar dia.