REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyebutkan TNI lebih mewaspadai Natuna ketimbang Ambalat karena melihat potensi konflik lebih besar ada di Kepulauan Natuna, Riau Kepulauan, ketimbang di Ambalat, Kalimantan Utara.
"Kami cenderung lebih memperhatikan Natuna karena perubahan-perubahan situasi di Laut Cina Selatan memiliki potensi instabilitas," kata Jenderal Moeldoko di Balikpapan, Jumat (16/5).
Panglima TNI Jenderal Moeldoko hadir singgah di Balikpapan untuk transit sebelum bertolak ke Ambalat guna menyaksikan kegiatan Komando Tugas Operasi Gabungan (Kosgasgab) Ambalat 2014, sebuah operasi yang disebut Jenderal Moeldoko sebagai 'Operasi Wibawa.'
Kepulauan Natuna ada di barat laut Pulau Kalimantan, masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau, walaupun lebih dekat ke Kalimantan Barat, berada di ujung Selat Karimata di utara, atau di selatan Laut Cina Selatan.
Natuna menjadi titik sempadan laut bagi Indonesia, Malaysia, Kamboja, dan Vietnam. Wilayah ini memiliki kandungan minyak dan gas alam yang sangat kaya.
Jalur ini juga menjadi rute pelayaran ramai yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di utara seperti Hongkong, Taiwan, Korea, hingga Jepang dengan Singapura di selatan.
Ambalat berada di timur laut Kalimantan Utara. Terutama di sekitar perairan Karang Unarang, pernah menjadi tempat militer Malaysia dan Indonesia saling unjuk kekuatan menyusul provokasi Malaysia pascakemenangannya atas klaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dua pulau eksotis di perbatasan kedua negara yang juga tak jauh dari kawasan itu.
Operasi wibawa
Komando Tugas Operasi Gabungan Ambalat 2014 adalah operasi gabungan pengamanan perbatasan oleh TNI AL, TNI AD dan TNI AU. Panglima TNI mengunjungi pelaksanaan operasi itu selama sehari pada Jumat (16/5).
Saat ini perbatasan darat sedang dijaga oleh Batalyon Infanteri 100 Raider dari Sumatera Utara sejak Januari 2014.
Selama 4 bulan lebih bertugas, menurut Komandan Batalyon Letkol Inf Safta Ferryansyah, prajuritnya tak kurang dari tujuh kali mencegah dan mengamankan upaya-upaya penyelundupan, mulai dari minuman keras ilegal hingga narkoba, yang coba dibawa masuk ke Indonesia.
Ancaman-ancaman seperti inilah yang disebut Panglima Kodam VI/Mulawarman Mayjen TNI Dicky Wainal Usman, yang membawahi Kalimantan Utara, Kalimantan Timr, dan Kalimantan Selatan, sebagai ancaman perang hibrida.
"Bukan perang konvensional militer lawan militer, tapi melemahkan kita melalui ekonomi, termasuk perpecahan antara sesama kita dengan kegiatan-kegiatan ilegal tersebut," tegasnya dalam beberapa kesempatan.