Kamis 15 May 2014 17:34 WIB

Dalam Sebulan Ada 102 Kasus Perceraian di Purbalingga

Rep: wid/ Red: Damanhuri Zuhri
Sidang perceraian di Pengadilan Agama (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sidang perceraian di Pengadilan Agama (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PURBALNGGA -- Jumlah kasus perceraian di Purbalingga tergolong tinggi. Berdasarkan data di Pengadilan Agama setempat, sejak awal tahun hingga pertengahan 2014, tercatat ada 358 kasus. Jumlah itu belum termasuk kasus-kasus perceraian yang masih mengantri untuk diputuskan.

''Jika jumlah tersebut dirata-rata, setiap bulan ada 102 kasus perceraian yang ditetapkan Pengadilan Agama Purbalingga,'' jelas dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, Dr Naqiah MAg, saat menjadi pembicara Parenting Remaja di Operation Room Setda Purbalingga, Selasa (13/5) lalu.

Dia mengungkapkan data tersebut, berdasarkan hasil penelitian yang dia lakukan saat ini. Yang ironis, kasus perceraian yang akhirnya dikabulkan pengadilan agama, lebih banyak yang diajukan pihak isteri.

Alasannya bermacam-macam, ada yang karena suaminya dinilai tidak memiliki rasa tanggungjawab, permasalahan ekonomi, dan suaminya mengalami krisis akhlak.

''Yang seperti ini lebih dominan di Purbalingga. Mungkin lebih banyak isteri yang melakukan gugat cerai, karena kesempatan berusaha di Purbalingga memang lebih banyak dimiliki kaum perempuan,'' katanya.

Pembicara lainnya, Rahmawati SPSi MA dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, lebih menyoroti pola pendidikan anak yang dilakukan orang tua.

Dia menyebutkan, dalam mendidik anak-anaknya, orang tua perlu mengedepankan gaya pengasuhan authoritative. Yakni, gaya pengasuhan yang tidak begitu menuntut kepatuhan, namun lebih menggunakan wibawa orang tua.

''Pola pengasuhan ini mengedepankan komunikasi dan kesepakatan atara orang tua dengan anak. Sehingga keputusan mengenai larangan, hukuman dan lainnya selalu diawali dengan dislusi dan kesepakatan,'' jelasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Purbalingga, drg Hanung Wikantono MPPM, menekankan pentingnya pendidikan kependudukan kepada remaja menjadi solusi mengatasi persoalan yang terjadi di kalangan remaja. Terutama  untuk menciptakan pertumbuhan enduduk yang seimbang.

''Saat ini total fertility rate (TFR) nasional masih berkutat dalam kisaran 2,6 per wanita usia subur (WUS). Namun  di Purbalingga, angka TFR mencapai 4,0. Padahal pada 2015, harus dicapai TFR 2,1,'' jelasnya.

Menurut Hanung, populasi remaja di Indonesia mencapai 28,6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Yakni, sebanyak 67,9 juta jiwa dari 237,6 juta penduduk Indonesia.

Dari data tersebut menunjukan potensi remaja sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan penduduk, karena sebentar lagi harus berkeluarga dan mempunyai anak-anak baru.

Bukan tidak mungkin, apabila remaja ini tidak diberi pendidikan kependudukan dan kesehatan reproduksi, maka mereka akan menganggap bahwa memiliki anak lebih dari dua adalah sah-sah saja. 

''Karenanya perlu dilakukan pendidikan kependudukan semenarik mungkin dengan berkolaborasi bersama semua elemen masyarakat, baik tokoh formal, non formal, dan informal melalui upaya advokasi yang efektif dan berkesinambungan,'' tandasnya.

Seminar Parenting untuk Remaja diselenggarakan untuk memberikan pemahaman tentang ilmu parenting remaja bagi orang tua, sekolah, birokrat dan pihak-pihak lainnya. Sekaligus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya keluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement