Kamis 15 May 2014 16:21 WIB

Pengamat: Koalisi Demokrat-Golkar Hanya Jadi Penggembira

Rep: c30/ Red: Bilal Ramadhan
 Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) berfoto bersama para peserta Konvensi Calon Presiden PD dan jajaran petinggi partai usai debat putaran final di Jakarta, Ahad (27/4). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) berfoto bersama para peserta Konvensi Calon Presiden PD dan jajaran petinggi partai usai debat putaran final di Jakarta, Ahad (27/4). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kemungkinan terbentuknya poros baru di luar dua kekuatan yang ada masih bisa saja terjadi. Tetapi, siapa pun calon presiden (capres) yang diusung poros baru itu diprediksi tidak akan mampu bersaing dengan poros Jokowi yang diusung PDIP maupun poros Prabowo yang usung Partai Gerindra.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf mengatakan, jika Partai Demokrat dan Partai Golkar bertemu untuk membentuk poros ke tiga maka capres yang diusung diperkirakan tidak akan mampu bersaing dengan dua capres yang ada. Sebab, dari kedua partai tidak figur yang elektabilitasnya mampu bersaing dengan Jokowi maupun Prabowo.

"Kalaupun terjadi (koalisi antara Demokrat dan Golkar) capres yang diusung pasti hanya sekedar penggembira saja," katanya saat dihubungi, Kamis (15/5).

Menurut dia, wacana yang dilontarkan Partai Demokrat untuk mengusung Sri Sultan Hamengku Buwono X juga tidak realistis. Bahkan, dimunculkannya wacana itu dinilai sebagai bentuk kepanikan partai besutan SBY itu terhadap situasi yang saat ini terjadi.

Dia menjelaskan, saat ini Partai Demokrat telah ketinggalan kereta dalam dinamika penentuan koalisi. Mayoritas partai telah menentukan pilihannya untuk bergabung dalam gerbong dua calon terkuat yakni gerbong Jokowi dan gerbong Prabowo. Sedangkan, kata dia, Partai Demokrat masih berkutat dengan konvensi dan bahkan baru diumumkan hasilnya besok, Jumat (16/5).

Dia juga menilai, dimunculkannya nama Sri Sultan bisa dikatakan sebagai bentuk penghinaan terhadap peserta konvensi. "Kalau seperti itu berarti menghina peserta konvensi. Lalu apa gunanya konvensi yang mereka lakukan selama ini," kata guru besar ilmu politik UI ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement