REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara perlu diamandemen karena bertentangan dengan supremasi hukum internasional, kata Dosen Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Rangga Aditya Dachlan.
"Dalam Undang-Undang (UU) Minerba itu saya melihat adanya inkonsistensi dalam pembuatan hukum nasional yang seiring keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organisation (WTO)," kata Rangga di Yogyakarta, Sabtu.
Menurut dia, substansi UU Minerba termasuk menentang UU Internasional, karena menerapkan pembatasan dalam ekspor. Sementara dalam keikutsertaan Indonesia dalam World Trade Organisation (WTO) seharusnya tidak dibenarkan menerapkan batasan dalam ekspor maupun impor.
"Artikel 11, 'General Agreement Trade on Tariff' (GATT) atau WTO telah menyebutkan bahwa negara anggota WTO sama sekali tidak boleh melakukan pembatasan numerik, maupun secara menyeluruh," kata dia.
Adapun yang perlu direvisi, menurut dia bukan hanya UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba saja, melainkan juga Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2010, serta Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 sebagai landasan pelaksanaan UU tersebut.
Rangga menyadari bahwa UU Minerba pada dasarnya muncul antara lain menggantikan UU nomor 11 tahun 1967 mengenai Kuasa Pertambangan, yang bertentangan dengan prinsip yang diatur Pasal 33 UUD 1945 di mana seluruh kekayaan alam dikuasai negara.
Dalam UU tersebut pengusaha dilarang mengekspor enam bahan mentah yakni emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, serta batu bara.
"Kami menyadari bahwa memang UU itu dibuat agar seluruh perusahaan pertambangan baik domestik maupun Internasional membuat perusahaan di Indonesia, sehingga rakyat dapat menikmati dalam artian mendapatkan lapangan kerja," katanya.
Meski demikian, ia mengatakan, seharusnya perumusan UU itu dapat diputuskan secara bijak. Indonesia, menurut dia, tetap memiliki kedaulatan, namun dengan bergabung dalam instrumen hukum internasional seperti WTO, maka tetap memiliki komitmen untuk secara sukarela mematuhi hukum Internasional tersebut.
"Sesuai supremasi hukum Internasional, seluruh perbuatan kita dalam hukum nasional, tidak dapat menjadi pembenaran pelanggaran terhadap hukum Internasional," kata dia.