REPUBLIKA.CO.ID, KUTA -- Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengeluhkan melambungnya harga lahan di Bali, sehingga menyulitkan pembangunan perumahan sederhana di tujuan wisata internasional itu.
"Kalau terus begini, tidak mungkin anggota kami bisa membangun perumahan sederhana di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan)," kata Ketua DPD Apersi Provinsi Bali, I Wayan Adnyana di Kuta, Sabtu (10/5).
Menurut dia, selain harga lahan yang tinggi, proses perizinan dari pemerintah di setiap daerah berbeda-beda dan menyulitkan pengembang dalam merealisasikan proyek tersebut.
"Pemkab Tabanan yang mengharuskan pembangunan sebuah perumahan sederhana di atas lahan minimal dua are dan beberapa daerah lain biaya pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) masih tinggi," ujarnya.
Namun Adnyana mengapresiasi rencana Pemerintah Provinsi Bali yang akan menaikan harga perumahan sederhana dari Rp135 juta menjadi Rp138 juta per unit.
"Kami optimistis hal tersebut akan menggairahkan para pengembang untuk membuka proyek perumahan sederhana baru di Bali," ujarnya.
Apersi didirikan 10 November 1998 sebagai wadah pengembang yang mayoritas usahanya bergerak pada proyek pembangunan rumah sejahtera. Keberadaan Apersi sebagai mitra pemerintah dalam kurun waktu 15 tahun telah mampu menyediakan 25 ribu unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, jumlah tersebut belum mencukupi kebutuhan rumah sederhana di Bali.
Dalam tiga tahun terakhir di Indonesia pembangunan rumah sederhana mengalami kemunduran."Penurunan tersebut dikarenakan biaya produksi rumah sederhana mengalami peningkatan seiring dengan kaenaikan harga BMM (bahan bakar minyak) beberapa waktu yang lalu," kata Adnyana.