REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan duet Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden dan calon wakil presiden bisa menjadi pasangan kuat, namun sebaliknya bisa juga antiklimaks.
"Pasangan Prabowo dan Aburizal ibarat kutub magnet yakni bisa menjadi positif dan negatif," kata Yunarto Wijaya ketika dihubungi melalui telepon selulernya di Jakarta, Selasa.
Menurut Yunarto, Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie adalah tokoh utama di partai masing-masing yakni Gerindra dan Golkar. Jika Prabowo dan Aburizal dapat memobilisasi massa secara optimal di berbagai daerah maka berpotensi menjadi pasangan kuat dan bisa jadi dapat mengalahkan pasangan calon presiden dari PDI Perjuangan.
"Partai Gerindra dan Partai Golkar memiliki mesin politik yang besar dan tersebar merata. Apalagi kedua tokoh itu memiliki kemampuan finansial yang besar," katanya.
Menurut Yunarto, harus diakui bahwa demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya dilandasi aspek partisipasi, tetapi masih didominansi aspek mobilisasi yang ditentukan oleh kekuatan partai dan kekuatan finansial untuk berkompetisi.
Berdasarkan hasil perolehan suara sementara pemilu legislatif, di mana Partai Golkar meraih 14 persen dan Partai Gerindra meraih 11 persen, Yunarto menilai kedua partai itu lebih memiliki persiapan berkompetisi dibandingkan dengan PDI Perjuangan yang masih terkendala persoalan internal.
"Jika PDI Perjuangan tidak melakukan perubahan dalam strategi kampanye, maka tidak tertutup kemungkinan akan dikalahkan oleh pasangan Prabowo-Aburizal," katanya.
Sebaliknya, kata Yunarto, jika pengelolaannya tidak tepat, pasangan Prabowo-Aburizal justru akan memunculkan citra negatif dan menjadi antiklimaks. "Kemungkinan itu bisa saja muncul dan menjadi kartu mati jika tidak bisa menghindar dari persepsi negatif yang tumbuh di masyarakat," katanya.
Menurut Yunarto, Prabowo dan Aburizal adalah tokoh Orde Baru yang memiliki resistensi tinggi di publik karena beban politik di masa lalu yang melukai perasaan rakyat. Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi menilai proses 'perkawinan' Gerindra dan Golkar terpaksa dilakukan karena masing-masing parpol saling membutuhkan untuk dapat mengusung pasangan capres-cawapres.
Menurut dia, Prabowo dan Aburizal saling mengetahui citra negatif calon pasangannya di masa lalu. "Namun, dalam waktu yang mendesak, keduanya bersikap pragmatis," katanya.
Ari menambahkan, jika Prabowo dan Aburizal berpasangan sebagai capres-cawapres, citranya belum tentu semakin kuat, bahkan justru bisa semakin menurun. "Dalam politik satu tambah satu belum tentu dua, bisa lima atau bisa juga jadi nol," katanya.