REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan Indonesia terpilih menjadi Presiden "The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions" (AACCEI) atau Asosiasi MK se-Asia periode 2014-2016.
"Saya baru datang dari Istanbul (Turki) untuk mengikuti Kongres ke-3 Asosiasi MK se-Asia dan Indonesia terpilih secara aklamasi untuk memimpin MK Asia periode 2014-2016 dalam kongres dari asosiasi yang beranggotakan 13 negara itu," katanya di Surabaya, Senin.
Saat membuka seminar nasional bertajuk "Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 serta Mekanisme Penyelesaian Perselisihannya di MK" yang diselenggarakan Fakultas Hukum (FH) Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya bersama FH Universitas Negeri Jember (Unej) itu, ia mengaku sangat bersyukur atas kepercayaan itu.
"Karena itu, kami mohon dukungan untuk bekerja secara sungguh-sungguh dalam mengemban amanah itu, termasuk untuk menyiapkan Kongres Asosiasi MK Asia pada 2016 yang akan berlangsung di sini," katanya di hadapan para akademisi dan praktisi hukum dalam seminar itu.
Menurut dia demokrasi merupakan pilihan yang terbaik dari pilihan-pilihan buruk yang ada, karena demokrasi menjamin partisipasi masyarakat, mekanisme kontrol, dan kebebasan dalam berpendapat serta menghargai HAM.
"Tapi, aplikasi demokrasi itu berbeda pada setiap negara. Pemilu adalah aplikasi demokrasi itu dan aplikasi itu di Thailand, Filipina, dan Malaysia belum berjalan dengan baik. Namun, Indonesia sudah melampaui pemilu ke-3 (2009) dan ke-4 (2014) yang merupakan tahapan genting," katanya.
Dengan terlampauinya tahapan genting demokrasi (pemilu) itu, katanya, Indonesia kini memasuki konsolidasi demokrasi untuk melakukan perbaikan secara terukur. "Demokrasi yang terukur adalah un-predictable dan diatur dengan hukum/konstitusi," katanya.
Ia menilai demokrasi/pemilu di Indonesia sekarang sudah bukan seperti era Orde Baru yang bisa ditebak siapa pemenangnya, namun sudah "un-predictable" (tidak dapat diprediksi), bahkan prediksi lembaga survei pada Pemilu 2014 banyak meleset.
"Misalnya, berbagai survei memprediksi perolehan suara parpol Islam tidak akan lebih dari 4 persen, namun ternyata mencapai 7-9 persen, jadi prediksi lembaga itu sudah meleset, mungkin itu survei yang dibayar atau survei itu dikalahkan oleh perubahan perilaku pemilih," katanya.
Dalam kaitan demokrasi yang diatur hukum/konstitusi, ia mengatakan peraturan yang ada sudah mengatur tiga cara komplain (pengaduan) yakni Bawaslu-Gakkumdu untuk pelanggaran pidana, Bawaslu-PTUN untuk pelanggaran administrasi, dan MK untuk komplain hasil pemilu/pilpres.
"Saya prediksi, jumlah perkara sengketa Pemilu 2014 akan menurun drastis, bahkan bisa menurun hingga 50 persen dari perkara sengketa Pemilu 2009 yang mencapai 627 perkara. Itu karena jumlah parpol juga menurun dari 36 parpol dalam Pemilu 2009 menjadi hanya 12 parpol nasional dan tiga parpol lokal pada Pemilu 2014, jadi tidak sampai setengahnya," katanya.
Selain itu, parpol juga sudah mendukung untuk menyelesaikan sengketa pemilu di tingkat TPS, sehingga penghitungan ulang langsung tidak perlu dilimpahkan ke MK yang memakan waktu lama, kecuali perkara yang disengketakan itu tidak mampu diselesaikan di tingkat TPS.
Dalam seminar itu, anggota MPR/DPR RI, Abidin Fikri, mengusulkan perbaikan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup, karena proporsional terbuka terbukti justru membuka peluang kecurangan lebih masif dalam bentuk politik uang dan akhirnya sistem kaderisasi parpol pun mati.
"Kami juga menilai penggabungan pemilu dan pilpres pada tahun 2019 akan memunculkan capres tidak berkualitas, karena ketua umum parpol akan berebut mencalonkan diri, karena mereka lebih mementingkan parpol," katanya.