REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Lebih dari 40 orang mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa untuk Pembebasan (AMP) menyoroti berbagai permasalahan pendidikan, ketika berunjuk rasa di depan gedung DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di Mataram, Senin.
Mereka membawa atribut organisasi kemahasiswaan, dan beragam poster berisi kritikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia, dan berorasi secara bergantian di depan gedung wakil rakyat itu.
Aksi massa yang dikoordinir Akmal dan Syahrul dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) NTB itu, sempat menegangkan karena massa aksi hendak menerobos pintu gerbang gedung DPRD NTB, namun dihalau aparat kepolisian.
Aksi saling dorong pun terjadi, namun pihak kepolisian berupaya menenangkan massa aksi, yang pada akhirnya memilih orasi secara bergantian selama lebih dari dua jam.
Dalam orasinya itu, mahasiswa menyoroti permasalahan pendidikan terkait Hari Pendidikan 2 Mei, dan persoalan buruh terkait Hari Buruh 1 Mei.
Menurut mereka pendidikan di Tanah Air masih berbau kepitalisme sehingga masih sarat biaya mahal, dan upah buruh masih jauh dari nilai kebutuhan masyarakat saat ini.
Karena itu, mereka menuntut pencabutan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal (AKT), dan cabut Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Otonomi Kampus.
Tuntutan lainnya yakni cabut surat keputusan rektor di setiap kampus yang mengatur tentang cuti paksa bagi mahasiswa yang belum bayar SPP.
"Kami juga menginginkan terwujudnya demokrasi kampus, dan berikan jaminan KB3 (kegiatan belajar tiga modul) di dalam kampus, serta stop represifitas terhadap gerakan mahasiswa, dan wujudkan pendidikan gratis dari TK (Taman Kanak-kanak), serta wujudkan pendidikan bervisi kerakyatan," ujar Syahrul dalam orasinya.
Mereka juga menuntut kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi, menuntut ruang dan fasilitas bagi pekerja seni, pemerataan kualitas pendidikan dan transparansi alokasi penggunaan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS).
Mereka juga mendesak pemerintah menghentikan politik pencitraan dalam dunia pendidikan yang menurut mereka hanya meniupkan kamuflase kebijakan.
Tuntutan lainnya yakni penuntasan kasus-kasus pungutan liar di dunia pendidikan, dan mendesak penghentian segala kebijakan yang berbau nepotisme, serta menampakkan anggaran pendidikan yang memihak rakyat dan hentikan diskriminasi pendidikan.
Terkait Hari Buruh, kelompok mahasiswa itu menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP), dan menghapus sistem kerja kontrak atau "outsourcing", berikan pekerjaan yang layak, cabut seluruh undang-undang pro modal.
Mereka juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap pengusaha atau pengguna tenaga kerja agar mereka tidak semena-mena, karena kesejahteraan buruh yang masih belum baik harus terus dibenahi.
Selain itu, mereka menghendaki pemerintah mengintervensi upaya pemenuhan hak normatif buruh berupaya upah layak, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), hak curi, upah lembur dan hal lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh.