Rabu 30 Apr 2014 12:47 WIB

Makna Kehilangan Karakter

Asep Sapa’at
Foto: doc pribadi
Asep Sapa’at

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Asep Sapa’at, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia

Nurmillaty Abadiah, seolah hendak memberi pesan kepada publik, Indonesia masih punya masa depan. Anak jujur, kepada merekalah kita berharap Indonesia bisa lebih baik di masa mendatang. ‘Surat terbuka untuk Bapak Menteri Pendidikan: Dilematika Ujian Nasional’, menggugat kesadaran kita bersama. Kata-kata di akhir surat begitu menggetarkan, “Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...” 

Sontak saya teringat dengan pernyataan Plato, “Masa depan bukan terletak pada ilmu yang diperoleh, bukan pada kecerdasan yang dikembangkan, dan bukan pada keahlian yang dikuasai. Sesungguhnya masa depan terletak pada perilaku”. Tegasnya, siapa yang perilakunya baik, masih ada harapan bagi siapa pun punya masa depan indah. Dan tak ada jaminan, orang yang lebih tua dan mentereng jabatannya lebih baik perilakunya ketimbang anak sekolah. Maka, suara hati anak bangsa ini layak didengar dan dijadikan bahan renungan.

Ketika anak kita kritis suarakan kebenaran, bukankah episode pendidikan karakter sedang terjadi? Satu pilihan sikap wujud dari kesadaran diri. Kesantunan dalam menyuarakan pandangan berseberangan, layak diapresiasi. Sebagai 'orangtua' yang mengemban amanah jadi menteri pendidikan, kepala daerah, kepala dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru, maukah kita belajar mendengarkan kritik dan masukan dari anak kita? Jika tidak, sungguh konsep pendidikan karakter kita basa-basi saja. Hanya indah di atas kertas. Tanpa perilaku baik, kita tak punya karakter.

Menyusun kurikulum karakter dengan ilmu. Praktikkan kurikulum karakter, khawatirnya tanpa karakter. Menyusun kurikulum karakter mungkin 3 bulan selesai. Tapi untuk berkarakter, tak bisa instan dan tak bisa mendadak berkarakter. Mampukah para perumus dan pengambil kebijakan setia menerapkan apa yang sudah mereka rancang dan tetapkan. Ada 18 nilai karakter sudah dirumuskan Kemdikbud, nilai apa yang hendak dipraktikkan dalam menyikapi surat terbuka untuk Bapak Menteri Pendidikan? Religius, jujur, tanggung jawab, komunikatif, demokratis, atau karakter apa yang hendak ditunjukkan? Mampukah para perancang dan pengambil kebijakan soal pendidikan karakter konsisten mempraktikkan ilmu karakter mereka?

Menteri hebat bukan percaya pada kehebatannya, melainkan pada aksi perbaikan dan perubahan yang berkesinambungan. Surat itu mencoba mengajak Pak Menteri berdialektika tentang tiga hal, yaitu: (1) Apakah soal-soal pertanyaan Ujian Nasional sudah valid dan sama bobot kesulitannya untuk kedua puluh paket soal?; (2) Apakah validitas soal-soal Ujian Nasional sudah diujikan? Pada siapa soal itu diujikan, para dosen perguruan tinggi atau mahasiswa semester enam?;  (3) Mengapa praktik joki dan adanya kebocoran jawaban soal Ujian Nasional dengan tingkat akurasi hingga mencapai 95 persen masih marak terjadi? Saya pikir pertanyaan ini relatif mudah dijawab Pak Menteri. Maka, sajikan data lengkap yang memotret laporan pelaksanaan Ujian Nasional dari masa ke masa. Lalu, sampaikan secara bijak.

Berdialoglah layaknya anak dan bapak. Jika hal demikian terjadi, anak-anak kita akan ‘tumbuh sehat’. Tapi jika kritik dari anak dibungkam dan dilecehkan, kita layak merasa was-was akan kehilangan anak-anak Indonesia berkarakter. Mengapa? Karena mereka tak punya ruang berperistiwa untuk melatih penerapan nilai-nilai baik dalam keseharian mereka. Yang mengerikan, tak ada nilai keteladanan yang konsisten diberikan 'orangtua' mereka.

Anak kritis bersuara, Pak Menteri malah jadi susah. Anak Indonesia curang kerjakan soal Ujian Nasional, Pak Menteri tak susah. Jangan sampai terjadi hal demikian. Karena ini susah yang keliru. Anak kita tak juarai olimpiade matematika, malaikat tak tanya. Tapi curang di kejuaraan olimpiade matematika, kita pasti ditanya malaikat. Nurani diri pun menggugat. Ketika angka pencapaian nilai Ujian Nasional turun, semua merasa susah. Tapi ketika kecurangan tersistematis dan terlembagakan, kita pura-pura tak tahu dan tak mau tahu.

Surat terbuka untuk Pak Mendikbud adalah keresahan seorang anak bangsa. Isi surat memotret segudang persoalan pendidikan di Indonesia. Semua soal itu harusnya bisa dikikis dengan karakter. Justru karena kita lemah karakter, alih-alih berkurang, persoalan malah makin bertambah. Beranak cucu dari segi kuantitas. Dari segi kualitas akan semakin akut. Bisa-bisa saja kita katakan persoalan ini akan bisa beres. Tapi kata-kata itu dari dulu dan sekarang hanya sekadar kata. Akhirnya tetap makin parah. Jadi tanpa karakter, problem pendidikan Indonesia makin digali bisa makin akut ke depannya. 

Hilang harta, hilang sesuatu. Hilang waktu, hilang kesempatan. Hilang sehat, hilang kebugaran. Tapi jika karakter hilang, hilanglah segalanya. Inilah makna kehilangan yang hakiki. Nurmillaty Abadilah hendak menyampaikan satu pesan, kita tak boleh kehilangan yang satu ini, KARAKTER. Kita harus berjuang mendidik karakter diri, proses yang tak pernah berakhir sampai maut menjemput. Paul Newman berujar, If you have no enemy, you have no character. Lantas, siapa musuh terbesar kita? Diri sendiri. Pertanyaannya, siapa yang mampu konsisten mendidik diri agar berkarakter, Pak Menteri, Nurmillaty Abadiah, atau kita semua yang turut menyimak episode kisah nyata bertajuk ‘Surat terbuka untuk Bapak Menteri Pendidikan: Dilematika Ujian Nasional’?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement