REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pengamat mengungkapkan ketidaksetujuannya jika pemerintah menghapuskan program subsidi beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau raskin.
"Saya tidak sependapat jika raskin dihapus. Kalau program raskin dihapus, maka akan menghapus juga program-program pemerintah yang lain," kata pengamat pangan Prof. Dr. M.Husein Sawit di Jakarta, Senin.
Hal itu dikatakannya menanggapi hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan adanya indikasi ketidakberesan dalam pelaksanaan program raskin.
Menurut Husein, menghentikan program raskin bukan solusi, yang seharusnya dilakukan adalah memperbaiki program tersebut.
Program Raskin, katanya, terkait dengan sejumlah kebijakan lainnya, seperti kebijakan pengadaan pangan dalam negeri.
Tetapi yang terjadi sekarang, raskin terlalu besar, jangkauannya semakin luas dan fungsinya semakin penting.
Dikatakannya, tujuan raskin tahap awal tidak dirancang untuk menstabilkan harga beras, tapi mekanisme stabilitasasi harga beras itu dengan cadangan beras pemerintah.
"Namun sekarang cadangan beras pemerintah sedikit sekali dan kualitasnya sama dengan raskin. Karena itu, raskin digunakan sebagai alat untuk menstabilkan harga," katanya.
Husein mengakui suatu program yang terlalu banyak volumenya biasanya sulit untuk dikontrol, sehingga perlu ditata sedemikian rupa, atau dirasionalkan jumlahnya.
"Jumlah yang rasional sekitar dua juta ton. Nah, sekarang jumlah raskin sudah melebihi, yakni mencapai lebih dari tigajuta ton (tahun 2013 sekitar 3,4 jt), sehingga dianggap terlalu besar," katanya.
Menurut dia, semakin besar volume raskin, semakin besar pula dalam menyerap beras produksi dalam negeri.
Dia menyatakan, pengadaan itu banyak bergantung pada produksi, sehingga saat musimnya jelek, pemerintah sulit mendapat gabah yang banyak, karena tidak mencukupi.
"Biasanya kalau tidak mencukupi, beras harus diimpor. Agar tidak terlalu banyak impor beras, maka manajemen raskin perlu diperbaiki, harus dirasionalkan jumlahnya, bukan dihapuskan," katanya.
Melalui rasionalisasi jumlah, katanya, maka akan lebih mudah mengontrol dan mengelola program raskin. Selain itu, yang harus juga dibenahi adalah penerima manfaat yang sekarang dibagi rata-rata.
Jika raskin dihapus, atinya pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan beras dan tidak ada lagi pembelian gabah dari petani, sehingga petani akan menjualnya ke pihak swasta.
"Masalahnya, pihak swasta biasanya tak membeli banyak, dan harga akan jatuh di bawah ongkos produksi, sehingga petani akan rugi," katanya.
Hal itu mengakibatkan di panen berikutnya petani akan mengurangi luas area, tidak mau menggunakan pupuk lagi dan produksi gabah akan merosot.
Pendapat senada disampaikan Tuhana, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) yang juga menghimbau agar pemerintah tidak menghapuskan program Raskin.
Menurut dia, ke depan harus ada komitmen bersama dan harus mengoptimalkan kontrol.
"Kalau raskin dihapuskan, maka akan berdampak pada pemenuhan pangan rakyat miskin yang merupakan hal yang penting," katanya.
Dia menilai, sistem pengadaan dan distribusi raskin sebenarnya sudah bagus, tapi implementasi di lapangan perlu lebih dikontrol, serta kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan.
"Kalau tidak berhak, ya tidak boleh mendapatkan raskin," katanya.