REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LBH Keadilan menyatakan prihatin atas ditetapkannya mantan Ketua BPK Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam menerima seluruh keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Bank BCA tahun pajak 1999-2003.
"Kami prihatin, mantan orang nomor satu BPK itu jadi tersangka. BPK yang selama ini mensupport (mendukung) KPK dengan audit-auditnya ternyata ketuanya menjadi tersangka," kata Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie, di Jakarta, Senin.
Ia menilai korupsi sudah menggerogoti seluruh institusi yang ada.
"Menteri, ketua Mahkamah Konstitusi (MK), jenderal polisi dan sekarang BPK menjadi tersangka. Oleh karena itu publik harus memantau kinerja pejabat publik dari institusi manapun, tak terkecuali KPK," harap Abdul Hamim.
Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (21/4) kemarin, bertepatan dengan hari ulang tahunnya dan saat terakhir dia bertugas sebagai Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
"Sehubungan ditingkatkannya sebuah kasus dari tahap penyelidikan dan penyidikan, duduk perkaranya melibatkan mantan Dirjen Pajak dalam hal ini Ketua BPK, KPK menemukan fakta-fakta dan bukti-bukti yang akurat itu lah KPK mengadakan forum ekspose bersama satgas (satuan tugas) penyelidikan, satgas penyidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan saudara HP (Hadi Poernomo) selaku Dirjen Pajak 2002-2004," kata Ketua KPK Abraham Samad dalam konferensi pers.
Kasus yang menjerat Hadi Poernomo adalah dugaan penyalahgunaan wewenang karena memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasilan badan (PPH) Bank BCA 1999-2003 sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp375 miliar.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.
Pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dengan hukuman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.