REPUBLIKA.CO.ID, BATANG -— Pembebasan lahan untuk proyek PLTU Batang kembali berpolemik. Ditengarai ada pihak lain yang mencoba ‘bermain’ hingga proses yang sebelumnya telah berjalan kondusif kembali memanas.
Ini terkait dengan beredarnya isu pembelian lahan yang belum terbebaskan, seharga Rp 400 ribu per meter persegi yang awalnya disebut- sebut dilakukan oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) selaku investor proyek PLTU berkapasitas 2 X 1.000 Megawatt (MW) ini.
Sejauh ini PT BPI sendiri telah mengklarifikasi tidak ada harga pembelian lahan di luar nilai yang telah disepakati, Rp 100 per meter persegi. “Transaksi yang dimaksud warga, bukan transaksi oleh PT BPI,” tegas Corporate Secretary PT BPI, Dyah Kumala Sari, di kantor Setda Kabupaten Batang, Kamis (17/4).
Menurutnya, dari alat pembayaran berupa cek, yang dijadikan bukti oleh warga—juga bukan cek dari bank yang selama ini digunakan oleh PT BPI. “Demikian dengan tandatangan yang tercantum dalam cek ini bukan petugas kami,” tambah Dyah.
Di lapangan, isu ini terus menjadi bola liar hingga warga pemilik lahan di Desa Karanggeneng dan Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang berubah pendirian.
Warga yang semula menyepakati harga pembelian PT BPI sebesar Rp 100 ribu per meter persegi, bersikeras kesetaraan harga, Rp 400 ribu per meter persegi merupakan harga mati.
Ini dibuktikan dengan maraknya spanduk bernada provokatif menghiasai jalan utama menuju Desa Ujungnegoro maupun di jalan poros desa di wilayah Desa Karanggeneng.
Hanya saja, tak banyak warga Desa Karanggeneng yang mau buka mulut soal awal mula isu pembelian lahan seharga Rp 400 ribu per meter persegi ini. Sejumlah warga bahkan terkesan menghindar.
Terutama jika perbincangan mulai masuk ke dalam persoalan tuntutan harga warga yang berubah ini. “Saya tidak tahu menahu masalah tuntutan warga Karanggeneng ini. Jangan tanya saya,” ungkap Witarni (37), salah seorang warga Desa Karanggeneng.