Kamis 17 Apr 2014 13:57 WIB

BPK Temui Presiden Serahkan Hasil Pemeriksaan Semester II/2013

Rep: Esthi Maharani/ Red: Joko Sadewo
BPK
BPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo pada Kamis (17/4) siang, akan menyerahkan ikhtisar hasil pemeriksaan BPK Semester II (HPS II) Tahun 2013 kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Presiden, Jakarta.

BPK sebelumnya secara resmi telah menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II (IHPS II) Tahun 2013 kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Penyerahan IHPS II ini bertujuan untuk memberikan informasi menyeluruh mengenai hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kurun waktu satu semester.

Pada semester II tahun 2013 ini, BPK telah melaksanakan pemeriksaan terhadap 662 objek pemeriksaan dengan prioritas pada pemeriksaan kinerja dan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu). Dari 662 objek pemeriksaan tersebut terdiri atas 117 objek pemeriksaan keuangan, 158 objek pemeriksaan kinerja dan 387 lainnya adalah objek PDTT.

Pemeriksaan tersebut meliputi entitas di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga lain yang juga mengelola keuangan negara. Dari laporan tersebut tercatat ada 10.996 kasus dengan kerugian negara senilai Rp 13,96 triliun.

Temuan itu antara lain ketidakpatuhan ini dapat merugikan, berpotensi merugikan, dan mengurangi penerimaan keuangan negara. Senilai Rp9,24 triliun. Yang meliputi kerugian sebayak 1.840 kasus senilai Rp1,78 triliun, potensi kerugian sebanyak 586 kasus senilai Rp4,83 triliun, dan kekurangan penerimaan sebanyak 1.026 kasus senilai Rp2,63 triliun.

BPK pun merekomendasikan untuk kasus-kasus tersebut dengan cara penyerahan aset dan atau penyetoran ke kas negara/daerah, atau ke perusahaan milik negara/daerah. Selain itu, BPK juga menemukan sekitar 3.505 kasus terjadi akibat lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI). Kurang lebih terdapat 1.782 kasus kelemahan administrasi dan 2.257 kasus merupakan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp4,72 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement