REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menilai pembangunan PLTU Batang sangat esensial dalam menambah pasokan listrik di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Perusahaan pelat merah itu siap membeli tanah yang menjadi kendala PT Bimasena Power Indonesia untuk membangun PLTU tersebut.
Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PLN Murtaqi Syamsuddin mengatakan, kondisi terkini pembangunan PLTU berkapasitas 2 X 1.000 Mega Watt (MW) masih terkendala lahan. ''Karena itu pelaksanaan pembangunan PLTU Batang belum bisa dilanjutkan,'' kata dia kepada Republika Online (ROL), Rabu (16/4) sore.
PT Bimasena Power Indonesia sebagai perusahaan pembangun PLTU tersebut terkendala masalah lahan. Pembangunan PLTU itu kerja sama antara pemerintah dan swasta (PPP).
PT PLN, kata Murtaqi, menunggu instruksi dari pemerintah untuk membebaskan lahan. Nantinya, tanah tersebut akan dibeli sesuai ketentuan yang berlaku.
Dia menerangkan, pihaknya juga sedang menunggu surat dari PT Bimasena terkait ketidaksanggupan untuk membebaskan lahan di sana.
Murtaqi mengaku belum bisa memberikan tanggal berapa proses pengambilalihan lahan akan dilakukan. Alasannya, belum ada surat maupun instruksi dari pemerintah.
Dia juga belum bisa mengungkapkan berapa dana yang disiapkan PLN untuk membeli tanah di sana. Namun, pihaknya akan mengikuti prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku.
Murtaqi berkata, rasio elektrifikasi Indonesia baru mencapai 81 persen. Artinya, sekitar 19 persen belum teraliri listrik. Total daya listrik yang dimiliki PLN sebanyak 35,5 Giga Watt (GW). Sedangkan oleh swasta 7,5 GW. Pembangunan PLTU Batang sangat berpengaruh menambah cadangan listrik di Indonesia.
Kendala utama di sana, karena harga tanah dimainkan oleh para oknum. Tarif jual tanah yang tadinya Rp 10 ribu per meter persegi naik menjulang menjadi Rp 400 ribu. Pihak pengembang menginginkan hanya membayar Rp 100 ribu.