REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Kelompok yang paling berpotensi menimbulkan gejolak di Aceh saat ini merupaka mantan pengurus dan anggota (kombatan) Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk itu dibutuhkan program yang relevan serta menjawab persoalan, untuk meredam konflik baru.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan Consilidating Peaceful Development in Aceh (CPDA) yang disampaikan realesenya ke Republika, Rabu (16/4). ''Konflik bisa muncul lagi di Aceh, bila roda pemerintahan berjalan lamban dan tidak menjawab persoalan,'' ujar Muslahuddin Daud, Koordinator CPDA.
Untuk itu, lanjutnya, World Bank, melalui pendanaan Kedutaan Besar Belanda dan Australia dapat, men-support dana sebanyak 7,5 juta US Dolar guna program pencegahan konflik baru di Aceh. ''CPDA hadir untuk memperkuat kinerja pemerintahan itu, terutama dalam konteks perencanaan pembangunan yang mampu mengakamodir kebutuhan-kebutuhan di lapangan,'' tuturnya.
Menurut Muslahuddin, apa yang dilakukan selama ini, seperti analisis belanja publik, program paralegal, dan lainnya, bukanlah jaminan 100 persen, bila konflik tak lagi terulang.
''Apa yang kita lakukan adalah sebuah usaha. Kita perlu membuat alat (sistem) agar konflik tidak muncul lagi. Seperti, apakah persoalan perdamaian sudah masuk ke dokumen penting pemerintah, dan alhamdulillah RPJP dan RPJM sudah memuat itu,'' jelas Muslahuddin.
Dia juga menambahkan, banyak usaha yang dilakukan oleh Bank Dunia dan pihak lain untuk mencegah konflik terjadi lagi. Termasuk pembentukan Community Rangers Project (CRP), yang bergerak dengan kombinasi konservasi alam Aceh dan mengatasi persoalan mantan kombatan dan kelompok pemuda pengangguran yang ada di desa.