REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menangkap tersangka penyebar gambar pornografi anak, Tjandra Adi Gunawan (37), yang terindikasi terlibat jaringan pedofilia internasional di Surabaya.
"Menurut psikolog, sifat tersangka introvert dan inferior, tapi ada hasrat menggebu yang dipendam. Lalu dia mencari pelampiasan di dunia maya dan mendapatkan superioritas," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Markas Besar Kepolisian RI Brigjen Pol Arief Sulistyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Arief mengatakan tersangka menyebar gambar pornografi anak dengan membuat akun di Facebook dan menyamar sebagai seorang wanita berprofesi dokter.
"Tersangka mempelajari profil korban dan mengundangnya sebagai teman, kemudian mengajak bercakap-cakap," katanya.
Pelaku tindak pidana asusila anak yang juga berkerja sebagai manajer di PT KSM dan dosen itu, lanjut Arief, meminta korban memfoto alat kelamin dan payudara serta mengarahkan korban untuk melakukan masturbasi dan onani.
"Kemudian tersangka menyebarluaskan foto korban melalui Facebook ke akun guru dan orang tua serta disebar juga ke Kaskus," katanya.
Polri menemukan rekam komunikasi Tjandra dengan jaringan pedofilia internasional di laptop miliknya yang antara lain berisi tawaran untuk saling bertukar atau jual-beli gambar pornografi anak.
"Jumlah korban atas perbuatan tersangka sebanyak enam anak berusia 11-14 tahun, tapi hanya seorang korban yang melaporkan ke Kepolisian," kata Arief.
Arief menambahkan tersangka melakukan penyebaran gambar pornografi anak untuk kepuasan dan belum mengaku apakah ada transaksi bisnis dengan jaringan pedofilia internasional.
Kepolisian RI menangkap Tjandra pada Senin (24/3) di tempat kerjanya di Surabaya dengan jumlah foto pornografi anak yang ditemukan sebanyak 10.236 foto.
Tersangka diduga melanggar pasal 29 UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan pasal 27 ayat 1 jo. pasal 52 UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman paling lama 12 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp6 miliar serta satu per tiga dari maksimum ancaman pidana karena pelaku melibatkan anak-anak dalam kegiatan dan/atau menjadikan anak sebagai objek.