Senin 14 Apr 2014 16:25 WIB

Alumni UMY dan Mahkamah Konstitusi Galakkan Kedewasaan Berpolitik

Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta.
Foto: muhammadiyah.or.id
Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA - Kuantitas sengketa pemilihan umum yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi indikator kedewasaan berpolitik masyarakat Indonesia. Jika jumlah sengketa pemilu menurun, itu menandakan masyarakat makin dewasa berpolitik.

Hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan, MK memprediksikan jumlah sengketa pemilu mengalami penurunan tahun ini. Pada 2009, ada 600 lebih kasus. “Kalau sekarang partainya 15 kemudian yang ada sengketa 100 atau 200 kasus, itu pembacaan statistiknya masyarakat Indonesia semakin dewasa,” kata dia di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), akhir pekan lalu.

Pada diskusi “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu Legislatif dan Presiden” yang digelar Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KAUMY), Fadlil mengatakan negara melalui MK memang memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Namun, penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga atau perorangan sejatinya dapat diselesaikan sendiri.

Ketika pihak yang bersengketa membawa kasusnya ke MK, itu menandakan lembaga atau perorangan yang bersengketa telah gagal menyelesaikan sengketanya sendiri. “Penyelesaian seharusnya antara pelaku. Tetapi, ketika telah meminta mahkamah maka mereka telah gagal mengelola sengketa mereka sendiri,” kata dia.

Fadlil mengatakan, pemilu tanpa sengketa dalam sebuah negara demokrasi adalah pemikiran yang naif. Hampir tidak ada negara demokratis di dunia yang dapat menjalankan pemilu tanpa adanya sengketa, begitu juga di Indonesia.

Hal itu terjadi karena pemilu merupakan kontestasi hak warga negara yang berwujud persaingan politik yang dijamin oleh konstitusi. Negara harus mampu untuk menyelesaikan sengketa tersebut. “Dengan demikian, jika pada Pemilu Legislatif 2014 akan ada banyak sengketa di MK maka dapat diukur kedewasaan politik di Indonesia,” kata dia.

Rektor UMY Bambang Cipto mengatakan, fenomena sengketa dalam pemilu tidak hanya ditemukan pada negara dunia ketiga, tetapi juga terjadi di negara maju yang telah memiliki demokrasi yang matang seperti Amerika Serikat (AS). “Pemilu di dunia tidak ada yang bersih dari sengketa. Setiap pemilu selesai dilaksanakan selalu ada sengketa,” kata Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UMY itu.

Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KAUMY) Husni Amriyanto Putra mengatakan bagaimanapun sistem pembagian kursi diubah tahun ini, sengketa diperkirakan tetap marak. Husni menilai kebijakan MK menyiasati sengketa pemilu legislatif dengan menerapkan pengadilan per dapil sebagai langkah ideal. Sebab, cara tersebut dapat meminimalkan kongkalikong antara hakim dan partai politik.

Ia mengatakan, pada 2009 lalu, pola penanganan perkara MK dalam pemilu dianggap buruk. Sebab, sistemnya adalah satu panel per parpol sehingga timbul kepentingan. Namun, MK masih harus mengantisipasi perbedaan putusan.

Menurut dia, suara di dapil saling membawa pengaruh. Kalau MK memenangkan perkara satu dapil, kemudian di dapil lain justru kalah, akan timbul kerancuan. "Itu kerawanan putusan yang diantisipasi MK. Sejauh ini, mekanisme per dapil saya lihat sudah benar," ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement