Kamis 10 Apr 2014 19:59 WIB

Pesawat Presiden Dinilai Bentuk Foya-Foya Pemerintah

Rep: Andi Mohammad Ikhbal/ Red: Hazliansyah
Pesawat Kepresidenan jenis Boeing Business Jet (BBJ)-2 saat tiba di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Kamis (10/4). Pesawat seharga 91,2 juta Dolar AS itu terbang dari AS ke Tanah Air selama empat hari.
Foto: Republika/Wihdan
Pesawat Kepresidenan jenis Boeing Business Jet (BBJ)-2 saat tiba di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Kamis (10/4). Pesawat seharga 91,2 juta Dolar AS itu terbang dari AS ke Tanah Air selama empat hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesawat Kepresidenan Boeing 737-800 dinilai hanya untuk foya-foya Pemerintah. Sebab, tidak ada urgensi menghadirkan pesawat tesebut demi keperluan transportasi kepala negara dan para pejabat kabinet.

Pengamat Industri Penerbangan, Alvin Lie mengatakan, sebenarnya seberapa sering Presiden melakukan penerbangan ke luar negeri. Bila untuk kebutuhan domestik, kenapa tidak gunakan pesawat pribadi Presiden yang dapat menjangkau daerah terpencil.

“Itu kan lebih bermanfaat, bisa mendarat di landasan pendek. Kalau boeing, tidak ada kepentingannya selain untuk berfoya-foya,” kata Alvin saat dihubungi Republika, Kamis (10/4).

Jika terkait efisiensi anggaran, dia menyatakan, pihaknya siap menggelar debat publik. Pemerintah tidak bisa membandingkan penghematan biaya hanya dari harga pembelian dan ongkos sewa Pesawat Garuda. Menurut dia, banyak yang harus diperhitungkan secara matang.

Alvin menambahkan, kebutuhan operasional dan perawatan pesawat juga harus dijabarkan secara detail. Contohnya, berapa banyak kru yang dibutuhkan untuk pesawat itu, perawatan yang terus berjalan, belum lagi biaya penyusutan.

“Semua harus ditotal, berapa biaya per jam Presiden terbang dengan pesawat tersebut. Lalu satu bulan berapa kali, baru bandingkan dengan penyewaan Pesawat Garuda,” ujar dia.

Menurunya, boieng tersebut baru mencapai nilai ekonomis kalau diterbangkan 200 jam dalam sebulan, di bawah itu, tidak masuk perhitungan bisnis. Pemerintah, khususnya Kementerian Sekertaris Negara harus mengkalkulasikan terlebih dahulu.

Sebab, akan muncul asumsi bahwa pesawat tersebut tidak efektif dan justru nampak bermewah-mewahan. Apalagi, kedatangan boeing tersebut satu hari setelah pelaksanaan pemungutan suara. Dia mengatakan, ada unsur politik dalam mempublikasikan peswat itu.

“Apa alasan pesawat itu telat datang. Kalau didenda, berapa yang harus dibayarkan Boing Company, itu harus dibuka sebagai bentuk transparansi publik,” kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement