Oleh Alwi Shahab, wartawan senior Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta memiliki beragam seni budaya, seperti juga dengan penduduknya yang majemuk. Konon, tidak kurang dari 300 etnis dan bangsa berbaur di kota yang kini berpenduduk belasan juta jiwa. Ada suku Jawa, Melayu, Sunda, Padang, Batak, Bugis, Tionghoa, Arab, India, dan masih puluhan etnis lagi.
Yang patut dihargai sehari-hari, berbagai etnis ini hidup membaur, rukun, dan saling berintegrasi. Tidak heran kalau kesenian Betawi sangat beragam, seperti beragamnya penduduk kota ini.
Ada kesenian yang berasal dari Arab, berupa kesenian sambrah. Sambrah berasal dari bahasa Arab samarokh. Suatu seni musik berupa tonil atau orkes yang biasa pentas di tempat orang berkumpul atau memeriahkan suatu acara pesta. Biasanya, sambrah dibawakan warga keturunan Arab, di samping orkes gambus.
Tonil sambrah dikembangkan dari teater bangsawan dan komedi stambul. Kata stambul berasal dari Istanbul, pusat kegiatan dan seni Islam pada masa Dinasti Usmani memerintah di Turki. Tonil sambrah sudah muncul di Betawi sekitar 1918. Ia termasuk kesenian yang komplet.
Dalam pentasnya tergabung seni musik, pantun, tari, lawak, dan lakon. Sayangnya, pada 1940-an tonil sambrah menghilang. Tidak lama setelah tumbangnya Dinasti Usmani, Kemal Attaturk yang menggantinya memproklamasikan diri sebagai negara sekuler.
Baru, pada 1950-an tonil sambrah muncul kembali, tapi namanya menjadi orkes harmonium. Seniman orkes harmonium yang terkenal adalah SM Alaydrus, anak Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah masa tersebut, orkes harmonium digantikan Orkes Irama Melayu yang kemudian melahirkan dangdut.
Dangdut yang kini mulai digemari kembali dibidani oleh anak Tanah Abang, Husein Bawafie. Lagu-lagunya banyak berasal dari film India dinyanyikan penyanyi latar Mukesh dan Lata Mangeskar.
Ketika masyarakat Arab berdatangan ke Indonesia pada abad ke-19, mereka mengenalkan Orkes Gambus. Awalnya, orkes ini membawakan lagu-lagu bersyair bahasa Arab, berisi ajakan beriman dan bertakwa kepada Allah dengan mengikuti teladan Rasulullah.
Pada 1950-an pemain dan penyanyi gambus terkenal adalah Saleh bin Thalib. Sedangkan, pada 1940 penyanyi dan pemain gambus terkenal adalah Syekh Albar dari Surabaya. Dia adalah ayah dari Ahmad Albar dan kakek Fachri Albar. Begitu mahirnya Syekh Albar menyanyi dan petikan gambusnya, hingga dia dipuji oleh seniman-seniman dari dunia Arab. Karena, lagu-lagunya telah direkam oleh perusahaan piringan hitam terkenal.
Sampai 1940-an, lagu-lagu berirama Padang Pasir masih berorientasi dari Hadramaut. Sejak berdirinya bioskop Alhambra (kini menjadi pertokoan) di Sawah Besar, Jakarta Pusat, yang memutar film-film Mesir, gambus beralih ke irama negeri Sungai Nil.
Penyanyi gambus yang terkenal hingga sekarang ini dari Mesir adalah almarhumah Oum Kalsoum. Rekaman lagu-lagunya masih kita dapati dan banyak dijual di Indonesia.
Sampai 1950-an, bila ada gambus pemuda-pemuda Arab, meski bermainnya jauh dari tempat kediamannya, selalu mendatanginya. Acara nonton bersama ini disebut samar. Tariannya disebut zapin. Mereka yang menghadiri pesta samar banyak yang hanyut untuk menari zapin dengan menggerak-gerakkan badan, seperti layaknya berjoget.