Selasa 08 Apr 2014 16:31 WIB

1.480 Desa Adat Lestarikan 'Tri Hita Karana'

Anggota Pecalang atau satuan pengamanan adat Bali memantau situasi jalan pantai saat pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Pantai Kuta, Bali, Senin (31/3).
Foto: Antara/Wira Suryantala
Anggota Pecalang atau satuan pengamanan adat Bali memantau situasi jalan pantai saat pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Pantai Kuta, Bali, Senin (31/3).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menilai sekitar 1.480 desa adat di Bali atau desa pakraman mampu melestarikan Tri Hita Karana.

"Aktivitas budaya dan ritual yang tetap lestari dalam kehidupan masyarakat Bali menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan dalam menikmati liburan di Pulau Dewata," kata Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar itu, Selasa.

Ia mengemukakan bahwa masyarakat desa adat mayoritas beragama Hindu memegang teguh warisan tradisi dan budaya berlandaskan Tri Hita Karana (THK) yakni kehidupan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusuia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat setempat umumnya tetap mengimplementasikan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang tidak bisa lepas dari budaya lokal (lokal genius), yang lebih dikenal dengan konsep "desa, kala, patra" atau desa mawacara (tempat, waktu dan keadaan).

Sumadi menambahkan, kondisi demikian tetap dilandasi pola hidup menyama braya (persaudaraan), saling membantu, dan toleran dengan semua orang tanpa memandang perbedaan agama, suku. atau sosial budaya.

Dengan kearifan lokal yang hingga kini dijunjung tinggi oleh warga masyarakat desa pekraman mampu mewujudkan kehidupan yang rukun dalam ikatan sistem sosial yang disebut desa pakraman.

Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Bali hingga sekarang tetap menjadi destinasi wisata pavorit bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata, ujar Ketut Sumadi.

Sumadi mengingatkan, untuk itu peraturan desa pekraman (awig-awig) yang telah disepakati oleh seluruh warga desa adat harus mampu memproteksi diri terhadap perkembangan pariwisata yang semakin pesat.

Hal itu penting dalam mengantisipasi institusi desa adat di Bali belakangan ini mulai kehilangan daya kritis, ujar Ketut Sumadi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement