Senin 07 Apr 2014 16:10 WIB

Penanganan Perubahan Iklim Belum Fokus

Antisipasi perubahan iklim
Foto: ILS
Antisipasi perubahan iklim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam berbagai diskusi internasional terkait iklim, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering menggaungkan komitmen Indonesia untuk berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca terutama karbon dioksida secara mandiri sebanyak 26 persen pada tahun 2020.

Dengan bantuan internasional, penurunan bisa mencapai 41 persen  Upaya ini dilakukan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebanyak 7 persen. Komitmen dicanangkan oleh Presiden pada pertemuan G-20 di Pittsburg, USA pada tahun 2009. 

Peneliti Senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Ari Wibowo mengatakan komitmen ini belum disertai strategi yang jelas. Tidak ada acuan yang pasti bagaimana komitmen penurunan karbon dioksida akan dilaksanakan di lapangan.

"Kita tidak punya referensi bagaimana cara menghitung karbon yang disepakati. Misalnya, berapa emisi yang sudah turun sampai 2014? Tidak ada referensi levelnya," ujarnya dalam dialog dua mingguan di kantor Kemenhut, Senin (7/4).

Referensi perhitungan bisa dilakukan dengan banyak cara, jadi perlu disepakati mana yang akan dijadikan referensi, salah satu contohnya laju deforestasi. Pada tahun 2000 hingga 2005, rata-rata laju deforestasi mencapai 1,1 juta hektare (ha). Sedangkan pada tahun 2012, laju deforestasi mencapai 650 ribu ha. Namun tetap belum ada satu standar yang disepakati untuk menghitung keefektifan berbagai program untuk mengurangi penurunan karbon.

Selama ini upaya yang dilakukan lebih berupa faktor pendukung, belum memberikan pengaruh yang signifikan. Jika pemerintah serius dengan komitmen ini, bisa dilakukan dengan low carbon emission development.

Caranya dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan, efisiensi teknologi produksi, optimalisasi penggunaan lahan dan sistem insentif. "Perlu dana untuk membiayai perbaikan lingkungan dan peningkatan teknologi serta penurunan emisi. Peluang insentif ada dari REDD+," katanya.

Tanpa insentif yang jelas, mekanisme ini akan sulit diterapkan di lapangan. Salah satu usulan Litbang Kehutanan terkait studi pendanaan potensial yakni dengan membangun kerja sama dalam bentuk forward contract dengan pembayaran di awal dan benefit sharing. Idealnya menurut Ari, ada dana konkret agar program ini tidak putus di tengah jalan.

Kepala Pusat Standarisasi dan Lingkungan Kemenhut, Nur Masripatin mengatakan sebagian besar kesulitan menjalankan komitmen ini ada di dalam negeri. Sulit mengkordinasikan komitmen ini dengan sektor lain, sementara isu perubahan iklim merupakan masalah multisektor bukan hanya Kemenhut. "90 persen masalah ada di dalam negeri (Indonesia). Ada ketidakjelasan dan sulit bernegosiasi antar sektor," katanya dalam diskusi yang sama.

Ia juga melihat ada pemahaman beragam terkait keberadaan REDD +. Padahal dalam kesepatakan internasional mekanisme REDD+ sebagai upaya untuk mengurangi deforestasi dan mempertahankan ekonomi. Kenyataanya, ada yang mengartikan mekanisme ini sebagai insentif perdagangan karbon dan lainnya.

Sebagai negara berkembang, kontribusi penurunan karbon bersifat sukarela. Artinya, apabila Indonesia tidak bisa menurunkan emisi karbon sesuai komitmen 26 persen di tahun 2020, negara ini tetap sudah berkontribusi dalam penurunan karbon dunia. "Namun perlu disadari kalau ini isu pembangunan, bukan hanya lingkungan," katanya.

Untuk itu pemerintahan yang baru diharapkan untuk fokus membuat referensi menangani isu perubahan iklim. Saat ini kegiatan yang dilakukan Kemenhut dikatakan sudah mencakup tujuan tersebut, meskipun belum maksimal seperti menanam pohon dan  penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Hal ini bisa terus dilakukan sambil meningkatkan pondasi antara pusat dan daerah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement