Sabtu 29 Mar 2014 20:40 WIB

'Ulama Harus Jadi Pelopor Pemberantasan Korupsi'

Sekretaris Jenderal Internasional Conference Of Islamic Scholar (ICIS) KH Hasyim Muzadi.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Sekretaris Jenderal Internasional Conference Of Islamic Scholar (ICIS) KH Hasyim Muzadi.

REPUBLIKA.CO.ID, SITUBONDO -- Sekjen Internasional Conference Of Islamic Scholar KHA Hasyim Muzadi menilai para ulama dalam sejarah Indonesia selalu menjadi pelopor perubahan, sehingga ulama sekarang kembali menjadi pelopor pemberantasan korupsi yang telah merasuk semua lini kehidupan masyarakat.

"Para ulama harus kembali ke moral ulama," katanya dalam keterangan tertulis kepada Antara terkait Konferensi Ulama Internasional yang dihadiri Prof Dr Wahbah Az-Zuhaily (Syria), Syaikh Mahdi As-Sumaidai (Irak), dan Syaikh Abdul Karim Ad-Dibaghiy (Aljazair) di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (29/3).

Pengasuh Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok ini mengajak para ulama turun tangan membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang menghadapi masalah serius di negeri ini, yakni melawan antek-antek korupsi yang membuat Indonesia bangkrut.

"Melalui konferensi ini, kami juga mengajak ulama untuk antikorupsi. Gerakan KPK sedang dihadang oleh banyak kalangan. KPK harus didukung oleh para ulama," ucapnya.

Selain itu, Hasyim juga mengajak para ulama untuk menjaga politik di Indonesia agar bersih dari praktik politik uang. "Jual beli suara dan politik uang itu melanggar agama. Ulama harus mengingatkan masalah ini," ujarnya.

Menurut ulama kelahiran Bangilan, Tuban itu, ulama selama ini sangat dekat dengan masyarakat, karena itu ulama bisa secara langsung memberikan pendidikan moral politik kepada masyarakat, terutama kepada para politisi.

"Era reformasi telah memberikan peluang sangat besar kepada parpol untuk mengubah Indonesia, karena itu perbaikan parpol akan berpengaruh pada kemajuan Indonesia," tutur Hasyim.

Mantan Ketua Umum PBNU itu mengatakan reformasi di Indonesia telah berjalan selama 15 tahun, namun reformasi yang membuka jalan terbukanya demokrasi di Indonesia belum menghasilkan hasil memuaskan.

"Demokrasi di Indonesia malah diwarnai dengan pragmatisme politik dan demokrasi transaksional, karena itu partai politik harus segera berbenah agar demokrasi di Indonesia segera berubah dan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia," katanya.

Ia menjelaskan anggota parlemen dari hasil rekrutmen parpol. Parpol juga yang mengirim orang untuk duduk di kursi kementerian. Komisi-komisi juga yang memilih DPR, bahkan pejabat "ad-hoc" juga yang memilih DPR.

"Jadi parpol harus bertanggung jawab atas kondisi Indonesia saat ini. Mereka jadi biang rusaknya Indonesia. Demokrasi menjadi rasa transaksi, dan hukum kehilangan keadilan. Para kiai harus turut memperbaiki kondisi Indonesia yang seperti ini," tukasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement