REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Puluhan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Jayapura nyaris ricuh dengan para kepala-kepala suku masyarakat adat pegunungan tengah Papua yang menggelar sebuah acara yang didukung Freeport di Jayapura, Jumat.
Para mahasiswa berasal dari Universitas Cenderawasih (Uncen), Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri.
Andreas Gobay, salah seorang mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uncen menegaskan, selain acara tersebut tidak melibatkan para kepala suku dari wilayah lain di Papua, juga karena mengetahui adanya dukungan dari PT Freeport Indonesia untuk acara tersebut.
Para mahasiswa sempat berusaha masuk di ruangan Auditorium Uncen di mana acara tersebut berlangsung. Gobay dan rekan-rekannya mempertanyakan, kepentingan para kepala suku di balik keberadaan PT Freeport atau sebaliknya ada kepentingan apa sehingga Freeport mendukung acara tersebut.
Para mahasiswa juga mempertanyakan, mengapa acara tersebut tidak melibatkan para kepala suku dari wilayah lain di Papua.
"Kami lihat sebenarnya misinya baik, namun kenapa tidak dari selatan, tidak dari utara, dan dari barat di pelosok Papua juga diundang," ujarnya.
Mahasiswa menilai, dukungan dari PT Freeport Indonesia untuk acara tersebut seakan mengkotak-kotakkan orang Papua.
"Ada proses pengkotak-kotakkan yang membedakan orang Papua bahwa kalian orang gunung dan kalian orang Pantai. Sementara pengakuan semua orang di Papua, seluruh warga yang diam di wilayah tertimur ini adalah orang Papua tidak membeda-bedakan suku," tegas rekan Gobay, Agus Kosay.
Para mahasiswa terus bersikeras masuk ke dalam Auditorium untuk membubarkan kegiatan. Sempat terjadi perdebatan antara para mahasiswa dengan para kepala suku, bahkan saling dorong tetapi mahasiswa tidak berhasil masuk.
Ketua Dewan Penasehat masyarakat adat pegunungan tengah Papua, drg Aloysius Giyai saat menghadapi mahasiswa mengatakan ide awal dari kegiatan itu muncul dari dirinya dan Halitopo pada Juni 2012.
Halitopo kadang-kadang mengaku sebagai kepala suku pegunungan tengah padahal belum resmi.
"Saya, kadang-kadang disebut ketua lembaga dewan adat pegunungan tengah Papua, betul diangkat di Gedung Olahraga (GOR) Jayapura pada 2004 tetapi belum resmi. Menurut Aloysius, sebaiknya ada sebuah wadah yang resmi dibentuk agar menghimpun semua warga pegunungan tengah Papua, sampai akhirnya acara itu digelar," ujarnya.
Terkait Freeport, kata dia, panitia pelaksana kekurangan biaya sehingga meminta perusahaan tambang emas dan tembaga tersebut, untuk membantu konsumsi dan tempat pelaksanaan kegiatan.
"Tidak ada embel-embel Freeport di belakang kami, dan juga bukan membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan orang Papua gunung dan pantai," katanya.