REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
LPPOM MUI tak lagi monopoli audit produk yang disertifikasi halal.
JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan terbuka kompromi dengan Kementerian Agama mengenai RUU Jaminan Produk Halal (JPH).
Masih ada perbedaan sikap antara kedua lembaga ini, di antaranya, mengenai wewenang sertifikasi dan sifat sertifikasi.
Kemenag menginginkan wewenang sertifikasi berada di tangan mereka, sedangkan MUI menolaknya. Sebab, selama 25 tahun mereka melakukan sertifikasi halal produk.
Tak hanya melakukan sertifikasi halal selama 25 tahun, MUI juga mendorong agar sertifikasi bersifat wajib, sedangkan pemerintah ingin sukarela.
Ketua Umum MUI Din Syamsuddin menegaskan, pihaknya terbuka mengenai adanya kemungkinan kompromi.
“Bisa saja,” katanya, Selasa (25/3). Ia menambahkan, kelompok kerja (pokja) MUI-Kementerian Agama dapat dibentuk setelah pemilu legislatif, 9 April 2014.
Menurut Din, saat ini Menteri Agama Suryadharma Ali sedang sibuk menghadapi pemilu. Rencana pembentukan pokja disampaikan Din setelah bertemu dengan Suryadharma Ali pada Kamis pekan lalu. Salah satu isu yang mereka bahas adalah RUU JPH.
Ketua MUI Yuhanar Ilyas mengatakan, peluang kompromi sangat terbuka. Misalnya, fatwa halal atas suatu produk tetap berada di tangan MUI. Ia beralasan, penetapan fatwa merupakan domain para ulama.
Di sisi lain, audit terhadap produk perusahaan yang didaftarkan untuk disertifikasi, tak lagi monopoli Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Auditornya bisa berasal dari Kementerian Agama atau lembaga lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU).
Namun, auditor-auditor itu mesti memperoleh akreditasi dari MUI. “Nanti syarat dan kriteria akreditasi ditetapkan oleh kami,” kata Yunahar. Ia mengatakan, proses penetapan fatwa tetap seperti yang terjadi sekarang.
Auditor yang memperoleh akreditasi MUI menyerahkan hasil audit mereka di lapangan. Kemudian, MUI menetapkan kehalalan suatu produk berdasarkan hasil audit tersebut. Yunahar menjelaskan, pada Selasa ada rapat pimpinan MUI, tetapi belum membahas soal pokja.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Djamil mengatakan, pembentukan pokja belum mendesak. Sebab, LPPOM MUI selama ini menerima mandat pemerintah untuk melakukan sertifikasi halal produk.
Sebenarnya, tidak dibentuk pun sudah ada sudah koordinasi melalui LPPOM MUI. Selain itu, kementerian telah memiliki subdirektorat yang mengurusi masalah halal. Dia mengaku, saat ini yang menjadi prioritas adalah membahas finalisasi RUU JPH.
Sebab, RUU tersebut sudah ditunggu-tunggu masyarakat dan sudah berkali-kali dijelaskan ke publik. Kementerian, kata Abdul, menunggu masa reses DPR usai untuk melakukan pembahasan kembali.
Saat ditanya mengenai peluang kompromi, ia mengatakan saat ini kewenangan sertifikasi halal masih berada di tangan LPPOM MUI. Dan, kini semua pembahasan merujuk pada RUU JPH. “Jangan diabaikan argumentasi pemerintah. Hendaknya, sertifikasi oleh pemerintah.”
Menurut Abdul, berdebat merupakan hal yang biasa terjadi saat belum ada titik temu. Ia menolak anggapan Kementerian Agama bersikeras memegang kewenangan sertifikasi halal. Argumentasi pemerintah berdasarkan konsep.
“Semua berdasarkan proses administrasi yang lebih baik. Apa itu dibilang ngotot?" tanyanya. Ia menyatakan, pemerintah selalu hadir dalam setiap pembahasan dan serius membicarakan RUU JPH agar segera diundangkan.