Rabu 26 Mar 2014 19:37 WIB

Nasib Pecinta Kereta Commuter Line

  Kereta Api Listrik (KRL) melintas diantara bangunan kumuh di bantaran rel Kereta Api kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin (24/3).  (foto: Raisan Al Farisi)
Kereta Api Listrik (KRL) melintas diantara bangunan kumuh di bantaran rel Kereta Api kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin (24/3). (foto: Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nini Mawardi dan puluhan calon penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line menyesaki peron Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis malam (20/3). Tak satu pun bangku panjang di peron stasiun yang menghubungkan Cikini dan Gambir itu kosong.

Akibatnya, sebagian besar penumpang berdiri termasuk Nini. Di antara para pelaju itu, ada pula yang duduk di sisi kiri dan kanan beberapa anak tangga peron sembari asyik dengan telepon selular mereka.

Nini sendiri sudah berada di peron stasiun yang dibangun di era Pemerintahan Presiden Soeharto itu sejak pukul 19.15 WIB dengan harapan dapat ikut KRL rute Jakarta Kota-Bogor yang dijadwalkan tiba pukul 19.25 WIB.

Namun keinginan perempuan berjilbab yang bekerja di sebuah perusahaan media untuk bisa segera tiba di Stasiun Universitas Indonesia (UI) ini menjadi pupus.

Pada 20 Maret malam itu, perjalanan perempuan Minang yang mengaku sudah mengandalkan KRL Jabodetabek sejak tiga tahun terakhir itu terganggu akibat kerusakan satu rangkaian kereta api di perlintasan Stasiun Cikini.

"Kami mohon maaf. Perjalanan anda terganggu akibat Agro Anggrek mengalami kerusakan di Cikini," kata seorang petugas Stasiun Gondangdia dari pengeras suara.

Sementara pengumuman lewat pengeras suara itu disampaikan, perjalanan satu rangkaian KRL Jakarta Kota-Bekasi yang sarat penumpang tertahan lama di Stasiun Gondangdia. Beberapa penumpangnya turun.

Melihat ketidakpastian ini, Nini pun memutuskan untuk turun menuju tangga peron arah Jakarta Kota. "Mendingan ke Kota dulu biar dapat tempat duduk pas ke Bogor nanti," katanya.

Nasib baik berpihak pada karyawati yang pernah lama tinggal di Medan ini karena beberapa menit setelah tiba di peron arah Jakarta Kota, satu rangkaian KRL Bogor-Jakarta Kota tiba.

Perjalanan KRL buatan PT Industri Kereta Api (Persero) yang dilengkapi pendingin ruangan itu lancar sampai ke Kota sebagai stasiun terakhir. Sebaliknya, perjalanan KRL yang sama ke arah Bogor terhambat di perlintasan antara Stasiun Jakarta Kota dan Manggarai.

Bahkan, keberangkatan dua rangkaian kereta yang tiba sebelum KRL bernomor K31117 juga terhambat.

Setelah menunggu selama sekitar 45 menit, KRL yang ditumpangi Nini pun akhirnya meninggalkan Stasiun Jakarta Kota. Perjalanan KRL yang ditumpanginya itu berulang kali tertahan di jalur yang menghubungkan Stasiun Jakarta Kota-Manggarai.

Akibatnya, tiba di Stasiun Juanda pukul 20.45 WIB, KRL yang sama baru melintasi Stasiun Manggarai pukul 21.19 WIB, kata Nini.

Selepas Manggarai, KRL yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan normal dan tiba di Stasiun UI sekitar menjelang pukul 22.00 WIB, kata perempuan paruh baya ini.

Pengalaman Kamis malam itu bukan kali pertama bagi dirinya. Namun kondisi itu tidak lantas membuatnya jera menggunakan angkutan massal berbasis rel ini. "Sekalipun kedatangan dan keberangkatan kereta masih sering molor karena berbagai alasan, seperti kerusakan kereta dan gangguan sinyal, KRL tetap pilihan terbaik bagi mobilitas saya sehari-hari."

"Selain tiketnya yang murah, perjalanan KRL pun bebas dari kemacetan lalu lintas. Tapi saya harus siap berjubelan di gerbong kereta pada jam-jam sibuk," katanya. Kondisi gerbong KRL yang penuh sesak dengan perangkat pendingin (AC) yang tidak berfungsi optimal mengurangi kenyamanan penumpang.

Kondisi demikian bahkan tidak mudah bagi sebagian penumpang seperti yang pernah dialami seorang perempuan asal Inggris yang pingsan di dalam gerbong KRL Commuterline Bogor-Jakarta yang berangkat dari Stasiun Bogor pukul 06.07 WIB pada November 2013.

"Ekspatriat itu naik dari Bogor, dan tak sadarkan diri ketika lepas dari Stasiun Universitas Indonesia (UI). Dia naik di gerbong tiga saat penumpang padat dan AC mati," kata Ketua KRL Mania Nurcahyo.

Pengalaman Nini Mawardi yang perjalanan KRLnya terhambat Kamis malam atau perempuan Inggris yang pingsan di gerbong diamini Abdul Gofur.

Pelaju yang tinggal di Bekasi ini juga mengeluhkan masalah penumpukan penumpang, antrean panjang di loket pembelian tiket, dan AC gerbong yang sering tak berfungsi optimal itu.

"Padahal menggunakan jasa angkutan KRL turut membantu program pemerintah mengurangi kemacetan," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement