REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan adalah peningkatan porsi penggunaan biodiesel dalam solar.
Upaya ini merupakan bagian dari paket kebijakan stabilisasi ekonomi yang diluncurkan pada Agustus 2013. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan mengatakan, terdapat empat kendala utama yang membayangi upaya peningkatan porsi biodiesel hingga 10 persen dalam penggunaan energi di dalam negeri.
Demikian disampaikan Fadhil dalam sebuah diskusi bertajuk "Bangkitnya Ekonomi Global dan Antisipasi Perekonomian Domestik" di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (25/3). Pertama, konsistensi dan koordinasi lintas pemerintah dalam mendorong pemanfaatan biodiesel lemah.
Fadhil mencontohkan perbedaan kebijakan yang diambil oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian. Di satu sisi, Kementerian ESDM mendorong penggunaan biodiesel. Sementara di sisi lain, Kemenperin mendorong produksi mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC).
Kedua, harga biodiesel. Menurut Fadhil, sebelumnya biodiesel disubsidi oleh pemerintah karena harga yang lebih tinggi dibanding solar. Akan tetapi, saat ini subsidi tidak lagi diberikan. Selain itu, PT Pertamina (Persero) saat melakukan tender biodiesel, selalu menggunakan patokan Mean Of Plats Singapore (MOPS) dalam menentukan harga biodiesel.
"Sehingga, produsen biodiesel yang mau jual ke Pertamina, pasti rugi. Ini jadi persoalan dalam pemanfaatan biodiesel. Seharusnya, di negara manapun yang maju dalam biodiesel-nya, pemerintah harus beri insentif, subsidi. Di Indonesia, pemerintah belum mau memberi subsidi sehingga menggunakan MOPS. Padahal, ini dua pasar yang berbeda. Satu pasar solar, satu pasar biodiesel," ujar ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tersebut.
Ketiga, minimnya creating demand. Fadhil menjelaskan, seharusnya pemerintah membuat kebijakan seperti mewajibkan industri otomotif mengembangkan teknologi FFV (Flexi Fuel Vehicle). Teknologi tersebut memungkinkan penggunaan dua jenis bahan bakar sekaligus yaitu biodiesel dan nonbiodiesel.
"Pemerintah gak berani wajibkan ini. Yang dikembangkan adalah LCGC yang bukan green car karena menggunakan BBM," kata Fadhil.
Keempat, masalah infrastruktur. SPBU yang menyediakan biodiesel hingga 10 persen baru dapat ditemukan di beberapa tempat. "Kalau ini (keempat kendala di atas) bisa dipecahkan pemerintah dan terjadi substitusi BBM ke BBN, akan terjadi revolusi dan memberi dampak ke berbagai indikator makroekonomi, terutama yang terkait defisit transaksi berjalan. Dengan 10 persen saja, defisit transaksi berjalan bisa turun. Ada dampak-dampak lain seperti creating demand, penciptaan tenaga kerja hingga kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional," Fadhil memaparkan.
Berdasarkan Laporan Neraca Pembayaran Indonesia triwulan IV 2013 yang dirilis BI 14 Februari 2013, defisit neraca transaksi berjalan menurun tajam menjadi 4 miliar dolar AS (1,98 PDB) dari sebelumnya 8,5 miliar dolar AS (3,85 persen PDB). Secara kumulatif sepanjang 2013, defisit tercatat 28,5 miliar dolar AS (3,26 persen PDB). Kapasitas produksi biodiesel saat ini tercatat 5,6 juta kl. Sementara produksi dalam negeri 2,7 juta kl. Pada 2014 seiring kebijakan pemerintah, kapasitas produksi biodiesel diproyeksikan 4 juta kl.