Rabu 19 Mar 2014 06:00 WIB

Pendidikan untuk Kesejahteraan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa lewat proses pendidikan dan pembudayaan bukan saja penting sebagai cara memanusiakan manusia, tetapi juga memiliki nilai pragmatik dalam mengembangkan kesejahteraan rakyat. “Kemajuan sebuah bangsa terletak pada pendidikan dan para generasi bangsa itu sendiri,” kata Ki Hadjar Dewantara suatu kali. Baginya, pendidikan merupakan wahana untuk membuat bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bermartabat, sejahtera, dan merdeka lahir-batin. Untuk itu, ia punya semboyan yang indah, “Belajar seumur hidup, belajar dari kehidupan.”

Peraih Nobel di Bidang Ekonomi, Amartya Sen (1999) mengkategorikan pendidikan sebagai salah satu ”peluang-peluang sosial” (social opportunities) yang sangat fundamental dalam menciptakan kemerdekaan hakiki semua orang untuk hidup lebih baik dan layak. Menurut Sen, akses terhadap pendidikan sebagai salah satu social opportunities ini penting bukan hanya dalam rangka mencapai taraf hidup yang menyenangkan, tetapi pendidikan juga penting bagi warga sebagai modal awal untuk berperanserta secara lebih efektif dalam aktivitas ekonomi-politik-kultural secara lebih luas (Sen, 1999).

Sen mencontohkan bahwa kebutaaksaraan akan menjadi penghambat utama seseorang untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang mempersyaratkan adanya kemampuan baca-tulis atau pengendalian mutu secara ketat. Hal yang sama juga akan terjadi dalam peran serta politik warga dimana minimnya tingkat pendidikan juga akan menghambat partisipasi politik seseorang dalam beragam aktivitasnya (Sen, 1999). Singkat kata, pendidikan menjadi hal paling vital, merupakan kunci utama bagi kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa dan umat manusia.

Oleh karena itu, jaminan negara atas hak pengajaran berdimensi strategis dalam usaha mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam gagasan Amartya Sen tentang welfare economics. Dalam penilaiannya, pendapatan per kapita yang tinggi tidak secara otomatis akan membuat kehidupan manusia semakin baik (seperti pada penduduk miskin di Kerala, India, mempunyai angka harapan hidup (umur) yang lebih tinggi daripada penduduk Afro-Amerika di Amerika Serikat). Pernyataan bahwa “pendapatan yang rendah sebagai penyebab kemiskinan” dianggap terlalu menyederhanakan masalah. Bagi Sen, ada penyebab yang lebih mendasar mengapa terjadi keterbelakangan, yakni kualitas sumberdaya manusia. Menurutnya, “Pembangunan Manusia (Human Development) adalah sekutu bagi masyarakat miskin.” (Sen, 1999).

Selain itu, untuk mengupayakan kesetaraan partisipasi dalam perekonomian sebagai basis keadilan dan kesejahteraan menghendaki pencegahan ketimpangan akses terhadap informasi, atau apa yang disebut oleh ekonom Joseph E. Stiglitz (2008) sebagai “asimetri informasi” atau ketimpangan informasi. Salah satu cara untuk mencegah ketimpangan informasi ini adalah melalui kesetaraan akses warga negara terhadap dunia pendidikan.

Jaminan negara atas hak pengajaran juga penting dalam mengusahakan keserempakan antara pertumbahan dan pemerataan ekonomi. Pertumbuhan dan pemerataan menurut alam pikiran ekonomi Pancasila bukanlah suatu pilihan, melainkan harus terjadi secara bersamaan. Paham ekonomi seperti ini memperoleh pembenarannya dari Stiglitz (2008), berdasarkan pengamatannya atas perkembangan ekonomi global. Dalam pandangannya, pertumbuhan tidak bisa dipertukarkan (trade-off) dengan pemerataan. Jika pertumbuhan ekonomi dikehendaki secara berkelanjutan, maka pertumbuhan itu harus bersifat inklusif, dalam artian bahwa (setidaknya) mayoritas warga negara harus memperoleh keuntungan dari itu. Pengharapan pada efek penetesan ke bawah (trickle-down effect), sebagai berkah pertumbuhan, terbukti tidak berjalan. Menurutnya, pemerintah bisa meningkatkan pertumbuhan dengan memperluas pemerataan. Sumberdaya negara yang paling berharga adalah manusia. Oleh karena itu, kunci terpenting dalam mengembangkan pemerataan ini adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerataan, bukanlah dengan jalan proteksionisme ekonomi, melainkan lebih efektif melalui proteksi sosial, berupa pemberian kesempatan pendidikan bagi semua dan jaminan sosial. Ekonomi modern, menurutnya, memerlukan individu-individu yang berani mengambil risiko, dan untuk itu diperlukan jejaring pengaman sosial, lewat penguatan solidaritas sosial sebagai sumber jaminan sosial.

Para pendiri bangsa menyadari benar arti pentingnya pendidikan bagi kehormatan, keberadaban dan kesejahteraan rakyat.

Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia, Abdul Rivai mencoba memancangkan ukuran kehormatan baru dengan memperkenalkan istilah “bangsawan pikiran”. Dikatakannya, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaian kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”

Atas dasar renungan sejarah akan pentingnya pendidikan sebagai sarana emansipasi, kesejahteraan dan kemartabatan bangsa, dalam menyusun Pembukaan UUD 1945, para perancang yang mewakili kesadaran ini secara terang menempatkan usaha “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu basis legitimasi negara kesejahteraan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat. Visi dan komitmen politik untuk

memajukan pendidikan itu kemudian diperkuat dalam pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.”

Di tengah kegaduhan pesta demokrasi dan pacuan ambisi kuasa para politisi, suatu pertanyaan penting patut diajukan: Apa relevansi demokrasi yang begitu mahal ini bagi peningkatan kecerdasan rakyat, sebagai modal sosial yang amat fundamental bagi pencapaian keadilan sosial yang menjadi tujuan akhir dari demokrasi kita?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement