Senin 17 Mar 2014 18:41 WIB

Harga Cabe Tembus Rp 70 Ribu

Rep: edy setioko/ Red: Damanhuri Zuhri
Pedagang menata cabai merah di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (6/8).  (Republika/Adhi Wicaksono)
Pedagang menata cabai merah di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (6/8). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, WONOGIRI -- Bersamaan mengawali musim kampanye Pemilu Legislatif 2014, harga komoditas lombok sungguh pedas.

Baru sepekan harga cabe keriting turun Rp 45 ribu, kini meroket naik hingga tembus Rp 70 ribu per kilogram.

Hampir semua pedagang bumbu kebutuhan dapur di pasar tradisional Kabupaten Wonogiri bagai koor. Mereka kompak menaikkan harga cabe pada awal pekan ini.

Kenaikan yang begitu mencolok tersebut, membuat pembeli, kebanyakan pengusaha warung makan, sontak kaget.

 

Hampir semua pedagang bumbu dapur di pasar tradisional Wonogiri Kota seragam menjual cabe merah keriting menjadi Rp 70 ribu per kilogram.

Konsumen yang kebanyakan penjaja makanan, dan warung makan yang menggunakan bahan baku cabai, mengeluhkan naiknya harga cabai saat ini.

Pemilik Kantin, Sri Suwardi (46), mengaku sedih setiap kali menghadapi kenaikan harga cabe. Warga Dusun Jatibedug, Desa Purwerejo, Kecamatan Wonogiri Kota, ini tak begitu pusing kalau terjadi kenaikkan komoditas kebutuhan bumbu dapur lain.

Soalnya, hampir setiap hari usaha kantinnya butuh dua-tiga kilogram cabe. ''Sekali naik, pusinglah kepala,'' katanya.

Namun begitu, walaupun harga cabe naik berapapun, juga terpaksa tetap beli. Masalahnya, semua bumbu sayur tak memiliki cita berasa kalau tanpa bumbu cabe.

Hanya saja, porsi pembelian dikurangi. Tentu juga persediaan lombok sebagai perangsang selera makan pun, juga dikurangi.

Sutarti (45) penjual bumbu dapur di pasar tradsional Slogohimo, tak bisa berbuat banyak. Harga cabe dari pemasok atau pedagang sudah naik. ''Kalau harga kulakan sudah naik, harga jualnya juga turut naik to pak.''

Ia sering didamprat pembeli. Terutama pemilik usaha warungan. Kebanyakan mereka cerewet kalau harga komoditas bumbu dapur naik.

Bagaimanapun juga kenaikan harga tersebut tak bisa dihindari. Semua orang turut merasakan dampaknya.

Memang, selama ini harga cabe selalu naik-turun.

Ia berharap pemerintah turut mengambil langkah kebijakan guna menanggulangi harga kebutuhan dapur, terutama harga cabe, stabil. ''Kalau sudah kondisi seperti ini, sebaiknya pemerintah segera turun tangan,'' kata Sutarti.

Harga komoditas cabe terus meroket. Dalam tempo kurang  satu bulan, kenaikan komoditas perangsang selera makan ini terus melambung.

Malah, sejumlah pedagang bumbu dapur di Pasar Gede Klaten, menjual cabe menembus angka Rp 80 ribu per kilogram. Harga ini merangkak dari Rp 65 ribu, Rp 70 ribu, hingga Rp 75 ribu per kilogram.

Pedagang cabe di pasar tradisional sini, juga mengeluhkan kondisi tersebut. Mereka menduga kenaikan harga cabai lantaran cuaca ektsrim yang berdampak pada produksi cabai.

Produksi dan kualitas cabai yang menurun membuat harga di pasaran semakin mahal. Sementara, daya beli masyarakat juga mulai lesu.

''Sekarang, paling membeli hanya satu ons, karena satu ons saja harganya Rp 8 ribu. Dulu, kalau beli masih banyak, lebih dari satu ons,'' ujar Ngadinem, seorang pedagang di Pasar Gayamprit, Klaten Selatan.

Hal serupa dialami pedagang sayur di Pasar Delanggu, Sri Sudarmi (50). Sejak harga cabai melambung, pelanggannya yang kebanyakan penjual makanan mulai membatasi pembelian cabai.

Sri Sudarmi mengatakan, ''jika dulu seorang pelanggan bisa memborong cabai lebih dari satu kilogram, kini pelanggan hanya membeli dalam hitungan ons. Mereka memilih mengurangi cabai karena harga mahal. Jadi, beli sedikit saja''.

Guna menyiasati kenaikan harga cabe, pengusaha kuliner terpaksa mengurangi penggunaan cabe untuk sambal.

Hal ini dilakukan untuk menekan biaya yang dikeluarkan, karena harga cabai mahal. Pengurangan cabai dinilai lebih bijak daripada menaikkan harga makanan.

''Supaya hemat cabai untuk sambal dikurangi. Karena, kalau harga makanan dinaikkan nanti malah pelanggan kabur semua,''tutur Sri Sumarni (49), pemilik warung sate di Sub Terminal Karang, Delanggu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement