REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kehutanan meyakini adanya oknum tertentu yang membuat terjadinya kebakaran hutan di Riau seluas 10 ribu hektar lebih. Kepala Humas dan Pusat Informasi Kemenhut, Sumarto mengatakan, hutan di Riau merupakan hutan dari gambut yang sulit terbakar sekalipun kemarau.
''Gambut sangat susah terbakar, jenuh air, kondisi normal gambut tidak mudah terbakar,'' kata dia, Sabtu (15/3).
Gambut hanya bisa terbakar dalam keadaan kering dan musim kemarau tidak membuat gambut kering. Menurut Sumarto kebakaran hutan ini sudah direncanakan oleh oknum tertentu. Di awali dengan pembakaran lahan.
Bagaimana caranya? oknum sadar bahwa gambut sangat sulit dibakar, maka dibuatlah kanal-kanal. Kanal-kanal tersebut terdapat sungai kecil yang fungsinya untuk mengeringkan gambut dari air. ''Masalahnya gambut itu selalu basah di akarnya, dan tugas dari sungai kecil itu supaya air di dalam akar gambut itu mengalir dan gambut jadi kering,'' kata Sumarto.
Jika sudah kering barulah dibakar untuk membuat lahan baru yang kosong. Tapi efeknya lainnya tidak diperkirakan. Api yang sudah masuk ke dalam akar gambur sangat sulit untuk dipadamkan. Sekalipun sudah dilakukan penyemperotan, namun api tetap membara di akarnya dan akan kembali terbakar jika terkena angin.
''Mau pakai waterpom mungkin hanya berhenti sebentar,'' kata Sumarto.
Efek selanjutnya ialah asap dari kebakaran tersebut. Asap gambut sangat parah dengan perbandingan satu hektar lahan gambut yang terbakar asapnya sama seperti seribu hektar lahan biasa yang terbakar.
Sumarto menjelaskan, dari sini sudah terlihat kerugian dari segi ekonomi karena asap. Sejumlah Bandara seperti di Riau, Padang, dan Jambi ditiadakan karena asap. ''Hitung saja penerbangannya yang gagal itu kerugiannya,'' kata dia.
Selanjutnya, dari segi ekonomi sosial masyarakat yang terganggu. Beberapa toko lebih memilih tutup karena kabut asap. Kemudian, dari segi kesehatan mulai dari ISPA sampai ke Kanker. Sumarto mengatakan, puncaknya ialah kerusakan sistem ekologi, seperti fauna (satwa) yang mati.
''Dampak ke ekonomi sangat besar dan dampaknya kepada ekologi yang paling tidak terhitung,'' kata Sumarto.