REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Sejumlah masyarakat Gorontalo mengeluhkan adanya pungutan liar (pungli) di sejumlah kantor pemerintahan, yang menggunakan kata "seikhlasnya" sebagai modus.
"Biasanya petugas di kantor kelurahan dan kantor lainnya kerap mengucapkan kata seikhlasnya saja saat ditanya berapa biaya yang harus dikeluarkan. Padahal biayanya gratis," kata salah seorang warga Christopel Paino di Gorontalo, Rabu (12/3).
Menurutnya, kondisi tersebut berulang dan terjadi di berbagai instansi, mulai dari tingkat kelurahan hingga kabupaten atau kota.
"Biasanya para petugas mengatakan proses pengurusannya sulit dan lama. Lalu kemudian mereka menawarkan bantuan untuk mempermudah urusan dan akhirnya membayar tarif sukarela," ungkap warga lainnya Ali Djafar, saat Sarasehan ulang tahun Ombudsman RI ke-14 yang digelar di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Gorontalo.
Ali juga mengadukan petugas yang biasanya tidak menyampaikan berapa standar biaya dari setiap jenis layanan. Menanggapi hal tersebut, Asisten bidang pencegahan Ombudsman RI Perwakilan Gorontalo, Hasrul Eka Putra mengatakan bahwa kata "seikhlasnya" itu kerap membuat masyarakat merasa serba salah saat proses pengurusan.
Menurutnya pungutan berkedok pemberian sukarela itu terjadi karena masih banyak penyelenggara yang tidak memasang standar pelayanan. Padahal ada 13 komponen standar layanan yang wajib diterapkan oleh setiap penyelenggara layanan sesuai amanah UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Di antaranya adalah standar waktu, standar biaya, dan standar prosedur. Dengan begitu, masyarakat dapat mengetahui syarat setiap jenis layanan sehingga bisa turut mengawasi jika terjadi pungutan-pungutan yang seharusnya tidak ada.
Ia juga menambahkan bahwa Ombudsman sebagai lembaga pengawas, terus mendorong penyelenggara layanan untuk menerapkan standar layanan sesuai perintah undang-undang. "Untuk itu, mulai bulan ini kami juga tengah melakukan supervisi sembilan instansi terkait kepatuhannya terhadap standar pelayanan," kata Hasrul.