Selasa 11 Mar 2014 06:00 WIB

Islam, Inggris, dan 2050 (II)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: AhmAd Syafii Maarif

Sebelum sampai kepada catatan yang konklusif, angka-angka statistik dari Kern dan Cooper tentang perkembangan Islam dan agama-agama lainnya di Inggris, dan juga sebenarnya berlaku di berbagai bumi Barat lainnya, perlu diturunkan lagi. Saya ingin menghindari diri dari sikap partisan dalam membaca fenomena baru ini. Banyak pertanyaan yang mengganggu otak saya ketika menulis Resonansi itu.

Data sensus pemerintah Inggris yang digunakan Kern diumumkan pada 11 Des. 2011 hanya untuk Inggris dan Wales. Sedangkan untuk Irlandia Utara dan Skotlandia, dilakukan secara terpisah. Sensus ini menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen di Inggris dan Wales turun 11% (4.1 juta) selama 10 tahun terakhir, dari 37.3 juta tahun 2001 menjadi 33.2 juta tahun 2011.Sebaliknya pada periode yang sama, jumlah umat Islam meningkat 80% (1.2 juta), dari 1.5 juta tahun 2001 menjadi 2.7 juta tahun 2011. Karena perubahan demografis ini, Islam telah muncul sebagai agama kedua terbesar di Inggris dan Wales.

Agama timur lainnya, yaitu Hindu menjadi agama terbesar ketiga di Inggris dan Wales dengan pemeluk 817 ribu, diikuti oleh pemeluk Sikh dengan angka 423 ribu, Budha 248 ribu, dan Yahudi 263 ribu. Penduduk Inggris tahun 2011 berjumlah 56.07 juta. Yang mengaku Kristen turun dari 72% tahun 2001 menjadi 59% tahun 2011. Jumlah umat Islam yang semula 3% meningkat menjadi 5% dalam satu dasa warsa. Sebagian analis bahkan percaya bahwa jumlah umat Islam yang riil melebihi angka itu, karena menyebut masalah agama hanyalah suka rela dalam sensus 2011 itu. Ada sebanyak 7.2% yang tidak menuliskan agamanya dalam sensus itu.

Yang sedikit mengagetkan adalah fakta bahwa mereka yang mengaku tidak berafiliasi dengan agama tertentu melonjak 83%, dari 7.7 juta tahun 2001 menjadi 14.4 juta tahun 2011. Artinya, seperempat penduduk Inggris dan Wales adalah manusia yang tidak beragama. Dengan perkataan lain, jika penganut agnostisisme (tak hirau dengan agama) dan ateisme semakin membesar, lonjakan jumlah umat Islam adalah karena imigrasi dan pemeluk baru melalui konversi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Demikian itulah perubahan peta demografis berdasarkan agama yang sedang berlangsung di Inggris dan Wales. Jika laju angka-angka statistik itu tetap tak berubah, maka pada tahun 2050, kata Cooper, suara azan di seluruh Inggris dan Wales akan mengalahkan bunyi lonceng gereja.

Mengapa saya cemas dan sekaligus senang dengan perubahan yang dramatis itu? Sebagian jawabannya telah diberikan sebelumnya. Tetapi terbersit kegelisahan saya dalam membaca serba kemungkinan itu. Selama sekian abad, Islam belum juga berjaya membebaskan penganutnya dari penyakit primordialisme suku, sejarah, faham agama, dan latar belakang kultur yang sering anti-Alquran dan sangat memecah belah. Tengoklah apa yang berlaku di Afghanistan, Suria, Iraq, Sudan, dan di belahan bumi Muslim lainnya.

Penyakit primordialisme itu telah menghancurkan prinsip meritokrasi, sebagaimana diminta oleh ayat 13 surat al-Hujurât dengan menempatkan kriteria taqwa sebagai penentu posisi seseorang. Dalam ayat ini, posisi si Indonesia, si Arab, si Nigeria, si Palestina, si Pakistan, si Sudan, dan 1001 si lainnya ditentukan oleh kualitas taqwanya di sisi Allah. Dalam pemahaman saya, semestinya kriteria ketaqwaan inilah yang dijadikan acuan untuk menempatkan seorang Muslim pada posisi yang terhormat dan mulia. Bukan kriteria lain. Tetapi alangkah sulitnya. Primordialisme telah menjadi berhala selama kurun yang panjang.

Maka jika proyeksi statistik di atas menjadi realitas tahun 2050 itu, apakah umat Islam Inggris dan Wales itu masih akan baku hantam sesamanya, demi memberhalakan primordialisme? Semoga kegelisahan saya tidak punya dasar, dan umat Islam di sana akan serentak menghancurkan penyakit sosio-kultural yang telah menguras energi secara sia-sia itu. Islam kenabian dan Islam Alquran menegaskan bahwa umat beriman itu bersaudara, lahir dan batin. Ke arah tujuan persatuan itulah, roda sejarah harus digulirkan. Data kuantitas penting, tetapi data kualitas jauh lebih penting. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement