REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia menilai, subak, organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang diterapkan secara turun temurun di Bali memiliki kearifan lokal dan kecerdasan.
"Kecerdasan lokal yang dimiliki subak itu menunjukkan identitas sosio-kultural atau sosio-religius yang unik dan unggul," kata Prof Windia yang juga ketua pusat penelitian subak Universitas Udayana (Unud) di Denpasar, Ahad (9/3).
Ia mengatakan, kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki subak itu merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Bali yang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan berkunjung ke daerah ini.
Kearifan lokal dalam organisasi subak itu memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, dengan lingkungan dan Tuhan yang mendapat apresiasi unirversal.
Prof Windia menambahkan, esensi kearifan lokal menyangkut komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegiusitas dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagatraya yang berkelanjutan.
Dalam rentang panjang kebudayaan agraris, organisasi subak yang diperkirakan telah berkembang sekitar sepuluh abad (sejak abad XI) telah membangun jaringan struktural dan fungsional yang kokoh.
Secara eksistensialisme, sosialisasi dan kearifan lokal terhadap petani anggota subak telah menembus lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi, sehingga telah mampu tumbuh.
Kearifan lokal yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas.
Etos kebangkitan kearifan lokal mendapat momentum terkait dengan kebutuhan dan harapan masyarakat secara teks dan konteks yang kaya akan fungsi dan makna, ujar Prof Windia.