REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menginginkan agar polemik terkait pihak yang berhak melakukan sertifikasi halal dihentikan.
"Kita ingin produk halal itu seharusnya ada kerja sama antara Kementerian Agama dan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Tapi kalau berkelahi terus masing-masing, susah juga," ujar Sofjan kepada Republika, Kamis (6/3).
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) mewajibkan semua produk pangan, medis, obat-obatan dan kosmetik, memperoleh sertifikasi halal. RUU JPH hingga kini masih dibahas di DPR setelah sembilan tahun lalu diusulkan.
Lambannya pembahasan RUU JPH salah satunya disebabkan oleh perbedaan konsep soal lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi halal. DPR menginginkan agar kewenangan tetap berada di Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagaimana yang sudah berjalan selama ini.
Sedangkan, pemerintah menginginkan kewenangan lembaga pemberi sertifikat halal di bawah kendali negara. Berkaca dari pengalaman di sejumlah negara, Sofjan menyebut sertifikasi halal ditangani oleh pemerintah.
"Tapi, pemerintah mengajak majelis ulama karena mereka yang lebih tahu soal halal atau haram. Kerja samanya terserah saja (tergantung pembagiannya)," kata Sofjan.
Jika nantinya harus ada biaya, Sofjan meminta agar kalangan pengusaha turut dilibatkan dalam menentukan besarannya. Namun, hendaknya pengecualian diberikan kepada pelaku usaha kecil dan menengah (ukm).
Selain sertifikasi halal, Sofjan berharap pemerintah dan parlemen mencontoh Arab Saudi terkait pemberitahuan produk nonhalal. Produk yang masuk kategori itu, bukan berarti tidak boleh dijual, melainkan dijual di tempat-tempat tertentu sehingga diketahui konsumen. "Di Saudi begitu."