REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
JAKARTA -- Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Ali Mustafa Yakub mengusulkan pembentukan Badan Kehormatan Ulama (BKU). Menurutnya, badan ini diperlukan untuk mengatasi perilaku dai yang mendapat sorotan publik.
Dia menjelaskan, badan tersebut akan menaungi seluruh ulama di Indonesia agar menerapkan kode etik dakwah sesuai dengan Alquran dan hadis. Menurutnya, BKU bertugas untuk memproses pengaduan masyarakat tentang perilaku dai di Indonesia.
"Nanti, tugasnya seperti zaman Rasulullah yang menampung pengaduan masyarakat dan memberi tindakan jika ada yang melanggar," ujar Ali saat berbincang dengan Republika, Rabu (5/3).
BKU, jelas Ali, akan memberi sanksi kepada dai yang terbukti melanggar kode etik. Sanksinya bersifat moral dan materiil bergantung jenis pelanggaran yang dilakukan dai. Jika memang dai tersebut melanggar hukum, BKU akan menindaklanjuti kasus tersebut ke penegak hukum.
Dia mengungkapkan, badan tersebut akan terpisah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ali beralasan, tidak semua dai dan ulama bernaung dalam majelis tersebut. Ali kemudian memberi kriteria pada para ulama yang akan masuk dalam BKU.
Pertama, tidak takut kecuali kepada Allah. Kedua, memiliki ilmu agama yang bisa dipakai untuk memberi penjelasan kepada orang. Ketiga, berorientasi ukhrowi, bukan duniawi. Berikutnya, akrab dengan kaum lemah. Terakhir, berusia di atas 50 tahun.
Ali mengungkapkan, para dai di Indonesia sebenarnya memiliki kode etik yang sudah ada dalam Alquran dan Hadis.
Menurutnya, kode etik tersebut sempat disusun Ittihadul Muballighin, organisasi para mubaligh yang dipimpin KH Syukron Ma’mun pada 1996. Ketika itu, ormas ini menyelenggarakan musyawarah nasional (munas) yang merumuskan kode etik dakwah untuk dai.
Kode etik pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Poin ini juga diambil dari perilaku Rasulullah SAW yang secara umum tidak pernah memerintahkan sesuatu, kecuali dengan melakukannya.
Kode etik kedua, tidak melakukan toleransi agama yang dianjurkan Rasulullah sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain.
Ini diambil dari surah al-An’am ayat 108. “Dan, janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Kode etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Kelima, tidak memungut imbalan. Keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Terakhir, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.
Kode etik ini diambil dari surah al-Isra ayat 36. “Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf menilai, sebagian besar ustaz yang kerap tampil di televisi mempunyai ilmu yang instan. Mereka menjadi terkenal karena di-blow up stasiun televisi.
Namun, ada ustaz lain yang memang memiliki ilmu agama mumpuni, seperti Yusuf Mansur, Abdullah Gymnastiar, dan almarhum Zainuddin MZ.
Padahal, ujar Slamet, keulamaan harus berdasarkan pada ketaatan ilmu, komitmen pada Islam, keterlibatan dalam proses pembelajaran Islam, dan mampu menjadi suri teladan bagi masyarakat. Slamet mengatakan, selama ini keulamaan di NU adalah proses panjang yang berkaitan dengan masyarakat.
Sementara itu, untuk memperbaiki kualitas para dai, MUI mengadakan pelatihan angkatan kedua atau Training for Trainers (TOT) yang akan dilaksanakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada bulan ini. MUI akan memfokuskan pelatihan bagi ustaz yang dikirim ke daerah-daerah.
Sesuai standar umum MUI, materi yang disampaikan bersifat substantif, yakni penguasaan materi dakwah dan bersifat metodologis. Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan menjelaskan, materi dakwah meliputi Alquran, hadis, fikih Islam, dan materi lainnya.
Sedangkan, yang bersifat metodologis para dai akan diberikan pelatihan, sehingga terampil menyampaikan dakwah. Kode etik dai juga menjadi materi yang disampaikan.
"Mereka harus bisa berdakwah melalui perbuatan dan lisan. Sehingga, muncul istilahnya ‘dai serbabisa’," ujar Wasekjen MUI Amirsyah Tambunan.