Kamis 06 Mar 2014 13:39 WIB

Din: Sertifikasi Halal Negara Non-Muslim Lebih Baik

Rep: c40/ Red: Damanhuri Zuhri
Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Produk pangan nasional yang bersertifikat halal masih kurang dari 20 persen.

JAKARTA -- Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus malu pada negara-negara non-Muslim yang sudah menerapkan sertifikasi halal secara baik.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, di negara yang penduduknya bukan mayoritas Muslim, seperti Singapura dan Thailand, ketentuan produk halal sudah berlaku dengan baik.

“Seharusnya bukan cuma malu, tapi kita harus iri kepada mereka,” kata Din di Jakarta, Selasa (4/3). Din mengomentari berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang sudah sembilan tahun dibahas DPR.

Di Singapura, Din melanjutkan, restoran-restoran sudah mendapatkan jaminan kehalalan dari lembaga ulama Singapura (Majlis Ugama Islam Singapura/MUIS).

Hal yang sama juga terjadi di Thailand. “Indonesia dihuni mayoritas Muslim, tapi belum maksimal ketentuan produk halalnya. Malah ada tarik-menarik,” ujar Din.

Dia menuturkan, pembahasan RUU JPH memang harus dilihat secara bijak karena konsumsi produk halal, baik makanan, obat, maupun kosmetika, adalah ajaran prinsip agama bagi umat Islam.

Penentuan kehalalan haruslah dikeluarkan melalui fatwa ulama melalui sidang komisi fatwa. Ulama yang diwadahi MUI dengan berbagai ormas Islam di dalamnya hendaknya diberikan otoritas penuh untuk melakukan sertifikasi.

“Bayangkan, betapa hiruk pikuknya jika semua ormas melakukan hal yang sama. Ikhlaskan saja ke MUI karena MUI juga perwakilan ormas,” kata Din.

Menurut Din, Lembaga Pengkajian Penelitian Obat dan Kosmetik (LPPOM) MUI yang memiliki sumber daya manusia lulusan universitas terpandang dari seluruh Indonesia sudah terbukti bisa melakukan penelaahan produk halal. Lagi pula, selama ini MUI hanya sebatas memberikan sertifikasi.

Adapun proses labeling produk tetap ada pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Ini kan tinggal bagi tugas saja. Keduanya bisa bersinergi. Tidak arif jika apa yang sudah bagus di masyarakat lalu diambil pemerintah,” katanya.

Kepala Badan Sertifikasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya berharap, polemik pembahasan RUU JPH bisa menemukan jalan tengah sehingga Indonesia bisa segera memiliki UU JPH.

Menurut Bambang, adanya konstitusi jaminan produk halal seharusnya bisa menjadi momentum yang tepat untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN awal 2016.

Hal ini sangat penting mengingat produk-produk pangan Indonesia yang bersertifikat halal masih kurang dari 20 persen. “Sementara, negara-negara tetangga, seperti Malaysia, sudah mendekati di atas 90 persen,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement